Ketiga sahabat itu mulai menyadari bahwa semua peristiwa ganjil yang mereka alami saling berkaitan. Entitas gelap yang selama ini membayangi mereka bukan sekadar pengganggu, tetapi penjaga murka dari eksperimen terlarang yang pernah dilakukan manusia. Batas antara dunia astral dan dunia nyata mulai runtuh, menyeret mereka ke kebenaran yang tak mungkin mereka lupakan.
Kabut pagi turun begitu tebal hingga pepohonan di sekitar observatorium tampak seperti siluet tubuh-tubuh kurus yang sedang menunggu. Udara menusuk, dingin tak wajar. Nissa berhenti di depan pintu besi yang menganga, merasakan sesuatu yang tak kelihatan sedang memegang lengannya pelan. “Ini rasanya… beda, Nis.” Nugraha menarik napas panjang, namun tak banyak membantu. Aroma hangus samar—seperti kayu terbakar lama—terselip di antara bau tanah basah. Observatorium itu seolah baru saja bernapas… dan mengembuskan sesuatu yang tidak ingin dikeluarkan. Mereka masuk. Koridor utama gelap meski sinar matahari sudah tinggi. Cahaya dari luar berhenti tepat di ambang pintu, seperti takut melangkah lebih dalam. Setiap langkah kaki mereka menggema terlalu pelan, seakan suara itu ditelan sesuatu.
“Apa ini… kenapa sunyinya kayak begini?” bisik Azizah. Tidak ada yang menjawab. Karena mereka semua merasakannya:
hening yang tidak alamiah.
hening yang sama seperti di sungai.
hening yang sama seperti di lorong kos tempat mahasiswa hilang.
hening yang seperti… memakan bunyi.
Lorong belakang menggelap sedikit demi sedikit. Senter mereka menjadi kurang efektif, cahaya menurun tanpa alasan. Dinding-dinding yang sebelumnya retak kini tampak seolah berdenyut. Nissa mengusap lengan.“Dia ada di sini,” katanya lirih. Saat itu juga, angin dari arah lorong belakang bergerak berputar pelan, tanpa sumber. Suhu turun tajam. Semua napas berubah menjadi kabut tipis. Bau dingin besi memenuhi hidung—aroma seperti darah yang sudah lama mengering.
Nugraha berhenti di depan ruangan administrasi. “Aku gak ingat lantainya serusak ini…” Lantai yang dulu hanya retak kini tampak seperti tertarik ke bawah. Lubang-lubang kecil menyerupai cekungan terbentuk di banyak tempat, seakan ada sesuatu dari bawah tanah yang mendorong naik atau menarik turun. Di salah satu retakan, sebutir batu hitam kecil terselip—persis batu seukuran kuku yang Nissa temukan di tepi sungai, dekat tubuh pendaki yang meninggal.
“Ini batu yang sama…” kata Nissa. Suaranya nyaris tak terdengar. Bukan karena dia berbisik—tapi karena suara itu seperti ditahan oleh udara.Tiba-tiba— tok. tok. tok.
Ketukan pelan terdengar dari lorong. Tidak keras. Tidak tergesa. Tapi terlalu sadar akan keberadaan mereka. Azizah memejam, tubuhnya gemetar. “Dia lagi… dia mengikuti kita dari sungai. Dari kos-kosan itu. Dia tidak pernah pergi.” Ketukan berhenti. Keheningan menjadi lebih berat. Lalu… dari lorong, kegelapan mulai bergerak. Bukan bayangan orang. Bukan kurangnya cahaya. Namun sesuatu yang memang terbuat dari kegelapan itu sendiri.
Silhouette itu merambat perlahan, tidak menapak, tidak bergerak dengan cara manusia. Dinding-dinding di sepanjang lorong tampak layu, seperti kulit yang kehilangan darah. Dua titik merah samar menyala di tengah gelap. Bukan mata… karena letaknya tidak seimbang. Seperti dua bara yang tersesat di ruang yang tidak punya bentuk.
Nugraha mu0ndur satu langkah, suaranya pecah: “Ini… makhluk yang sama, kan?”
Nissa tidak menjawab. Ia hanya memandang sosok itu, mencoba memahami napasnya sendiri yang terasa semakin sulit keluar. Sosok itu berhenti tiga meter dari mereka. Tidak menyerang. Tidak bergerak lagi. Hanya berdiri. Seperti menunggu. Dari tubuhnya, suara lirih muncul. Seperti besi beradu dengan air. Seperti nafas yang tergores. “Ke… m… bal… i…” Azizah terbelalak. “Dia bicara?!” Suara itu bukan suara manusia. Bukan suara makhluk hidup. Itu seperti gema dari ruang yang tidak mengenal suara. Seperti kata yang dipaksa keluar dari mulut yang tidak punya wujud. Wujud itu bergerak sedikit. Tak sampai satu langkah.
Namun lantai bergetar, halus tapi jelas—seolah bangunan itu menggigil ketakutan.
Nissa memegang dadanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang seperti ditarik.
“Aku tahu apa yang dia mau…” katanya pelan.
“Dia bukan korban dari eksperimen itu.
Dia—yang menjaga jalur antara dua alam itu tetap terbuka.” Nugraha menelan ludah. “Jadi… makhluk ini pelakunya?” Tidak ada jawaban. Tapi kegelapan itu berdenyut. Mereka bertiga tahu. Entitas ini bukan hantu penasaran. Bukan roh tersesat. Bukan makhluk liar. Ia adalah sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada. Sesuatu yang dilahirkan dari percobaan manusia yang menginginkan anak-anak yang bisa berjalan bolak-balik antara dunia manusia dan dunia astral. Sesuatu yang gagal. Sesuatu yang menentang penciptanya. Sesuatu yang tidak bisa mati. Tiba-tiba, suara keras jatuh dari dalam ruangan administrasi— BRUKK!
Azizah menjerit pendek. Di dalam, sebuah lemari besi tua roboh ke samping. Dari bawahnya, tumpukan dokumen berlembar-lembar keluar, tercecer ke lantai yang retak. Dokumen yang seharusnya habis terbakar bertahun-tahun lalu. Nugraha mengambil satu lembar, tangannya gemetar. Tulisan di atas kertas sudah memudar, tapi masih bisa dibaca:
“Protokol Pergantian Subjek – Tahap Keempat
Observatorium Astral, 1986.”
Nissa membuka lembar berikutnya—namun seluruh nama subjek disensor.
Semua kabur. Kecuali satu baris di bawahnya:
“Mereka tidak kembali.”
Kegelapan di lorong bergerak sedikit. Seperti mengangguk. Dan untuk pertama kalinya, mereka sadar: Makhluk itu mengikuti mereka bukan untuk meneror. Tapi untuk memastikan mereka menemukan dokumen-dokumen ini… sebelum seseorang membuka portal yang sudah seharusnya tetap terkubur.
Namun di saat yang sama— makhluk itu begitu dekat, begitu kuat, begitu gelap—
hingga mereka tidak tahu apakah ia ingin membantu…
…atau mengawasi.
Udara di dalam ruang administrasi mendadak berubah menjadi lebih berat, seperti ada tekanan tak terlihat yang menekan dada setiap kali mereka menarik napas. Senter dalam genggaman Nissa berkedip—bukan karena baterai habis, tapi karena entitas di lorong itu mulai bergerak lebih dekat. Jangankan bunyi; bahkan denyut nadi mereka terasa dipelankan oleh kehadirannya. “Kita harus ambil dokumen sebanyak mungkin,” kata Nugraha berbisik. “Lalu keluar dari sini.” Namun bisikan itu terdengar seperti ucapan yang dicampur air, terdistorsi. Keheningan di sekeliling mereka memakan sebagian suaranya. Azizah merapatkan jaketnya, padahal dingin yang menusuk tidak berasal dari udara luar. “Dia mengawasi kita,… tapi kenapa dia tidak menyerang?” Nissa jongkok, mengambil lembar-lembar kertas yang tebal oleh debu dan gosong di pinggirnya, namun anehnya tidak hancur meski usianya puluhan tahun. Ia menahan napas ketika melihat sebuah stempel:
“Program Anak-Astral — Observatorium Penelitian Interdimensional.”
“Astral…” gumamnya. Kata itu sendiri membuat tengkuk mereka merinding.
Azizah mengambil kertas lain. Di atasnya ada sketsa yang goresannya kasar seperti digambar oleh seseorang yang ketakutan atau terburu-buru: Siluet manusia. Di dalam tubuhnya, goresan hitam pekat—menunjukkan sesuatu yang tidak seharusnya tinggal di dalam tubuh manusia. Di bawah sketsa tertulis:
SUBJEK 06 — TIDAK STABIL
SUBJEK 07 — HILANG MAYA
SUBJEK 08 — BERUBAH
Azizah menelan ludah.
“Berubah… jadi apa?”
Nissa mengangkat lembaran lain, yang lebih menakutkan: foto-foto hitam putih.
Anak-anak. Di ruang isolasi. Tubuh mereka kurus, mata mereka memandang kamera dengan tatapan kosong. Beberapa memakai sabuk penahan di tubuh. Di belakang mereka, ada sesuatu—bayangan gelap yang terlalu padat untuk disebut bayangan biasa. Menjulang… seperti tubuh Genderuwo tapi bukan. Lebih terdistorsi. Lebih tidak berbentuk.
Nissa memejamkan mata sesaat. “Aku tahu makhluk itu… bentuknya mirip… yang di lorong.” Azizah menarik napas cepat, tapi suara itu langsung tercekik karena hening astral di sekitar mereka menelan suara paniknya. Makhluk di lorong itu bergeser sedikit. Dinding di sampingnya retak halus. Seolah kehadirannya menambah tekanan pada struktur gedung.
“Dia… Subjek 08?” tanya Azizah, suara hampir tidak keluar.
Tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba—lemari besi di sisi ruangan bergetar.
Krkk.
Krrrkkkk.
Pintu lemari itu perlahan terbuka sendiri. Tanpa angin. Tanpa tangan manusia.
Dan dari dalamnya—bau lembab menyembur keluar. Aroma seperti ruang bawah tanah yang sudah ditinggalkan makhluk hidup bertahun-tahun. Di dalamnya ada satu map besar dengan tali rapia usang. Nugraha, meski gemetar, memberanikan diri meraih map itu. Di permukaannya tertulis: “CATATAN KEPALA PROYEK — TAHAP TERAKHIR.”
Saat map dibuka, halaman pertama terselip sebutir batu hitam seukuran kuku—sama persis dengan yang ditemukan di sungai. Mereka bertiga menegang.
Batu astral. Batu yang hanya muncul ketika batas antar dua dimensi terbuka.
Batu yang ditemukan di lokasi pendaki tewas. Batu yang muncul di lorong kos mahasiswa hilang.
Dan sekarang… di dalam dokumen program anak-astral. Azizah berbisik sangat pelan. “… ini batu dari dunia dia…” Wujud astral di lorong menggerakkan kepalanya pelan saat mendengar kata itu. Seperti merespons. Seperti… mengenali. Nissa membaca halaman berikutnya. Tulisan itu lebih rapi, bukan tulisan orang yang ketakutan, namun seseorang yang tahu apa yang ia lakukan sangat salah.
“Portal sudah terbuka. Subjek belum kembali. Kami mulai kehilangan kontrol. Jika dia menemukan jalan kembali, kami tidak akan punya cara menghentikannya." Nissa ingin menutup dokumen itu. Tapi ada satu baris terakhir, ditulis dengan tinta berbeda, seolah ditambahkan bertahun-tahun kemudian:
“Dia tidak ingin dilawan... Dia hanya ingin ingatannya kembali.”
Seketika, entitas itu muncul di ambang ruangan administrasi. Tidak berjalan. Tidak bergerak. Tiba-tiba saja berada di sana. Tubuhnya membesar. Menutupi hampir seluruh ambang pintu. Kegelapannya menetes seperti cairan hitam jatuh dari tubuhnya. Dan… dari kegelapan itu, tiga wajah samar muncul—bukan wajah asli, melainkan percobaan wajah. Wajah anak-anak. Wajah-wajah dari foto dalam dokumen. Semuanya cacat, seperti potret yang diseret terlalu cepat saat kamera mengambil gambar.
Azizah hampir muntah karena ngeri. Nugraha memegang Nissa agar tidak jatuh.
Nissa menatap makhluk itu, semua potongan kisah mulai tersusun pelan di kepalanya: Pendaki di sungai mencoba mencari sumber entitas ini. Mahasiswa yang hilang di lorong kos mencari catatan medis yang hilang. Mita, anak kecil itu—lahir pada waktu yang sama ketika entitas ini keluar dari astral. Dokumen-dokumen ini… bukan hilang. Bukan terbakar. Disembunyikan.
Dan entitas itu sekarang berdiri hanya beberapa meter dari mereka, tidak menyerang, tidak berteriak. Hanya menatap. Bersama wajah anak-anak yang seharusnya tumbuh, tapi tidak pernah sempat.
Nissa gemetar. “Dia bukan ingin menyakiti…”
Suara Azizah pecah: “Terus kenapa dia mengikuti kita dari awal, Nis?!”
Nissa meliriknya, kemudian menatap makhluk itu lagi.
“Karena kita menemukan hal yang tidak seharusnya ditemukan.
Karena dia… ingin cerita ini selesai.”
Saat itu, sesuatu berubah. Makhluk itu seolah merunduk sedikit, memutar kepalanya ke arah map di tangan Nugraha—sampai titik merah matanya mengarah tepat kepada tulisan: “Tahap Terakhir.” Dan lantai di bawah makhluk itu mulai retak lebih lebar. Seolah batas antara dua dunia… semakin dekat untuk terbuka lagi. Lalu dengan sekejap mata, entitas itu menghilang dari pandangan. Namun mereka bertiga yakin ia masih di situ...
Lampu senter Nissa kembali meredup. Kali ini redupnya bukan karena baterai—cahaya itu seperti terhisap. Ditelan. Tepat saat itu, sesuatu melintas cepat di depan mereka, hanya bayangan—tapi bayangan itu berlapis, berbentuk tubuh manusia, namun membentang memanjang seperti asap yang dipaksa membentuk rupa.
Nugraha menarik kedua temannya mundur beberapa langkah, tapi langkah-langkah itu terasa sia-sia: lorong yang sama kini memanjang. Dinding bergeser lembut, menciptakan ruang baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Getaran tak kasat mata menggesek di bawah kulit, seperti angin yang membawa bisik-bisik dari jauh.
Bisikan itu bukan satu. Bukan dua. Tapi puluhan. Dan semuanya memanggil nama yang sama.
“Pulang… pulang… pulang…”