Istana Awan Gelap

Davie Al-Fattah
Chapter #6

Akar dari Semua Kegelapan

Segala misteri yang berserakan—sungai, observatorium, lorong sunyi, rumah Mita, dan rumah sakit lama—akhirnya menunjukkan satu benang merah. Entitas yang menghantui mereka bukanlah kegelapan tanpa arah, tetapi penjaga yang ditinggalkan dunia astral. Pagi yang cerah menjadi tirai tipis bagi kebenaran paling kelam yang harus mereka hadapi bersama.

 

Matahari pagi merayap pelan dari balik bukit, menembus kaca kusam observatorium yang sejak semalam terasa seperti jantung kegelapan itu sendiri. Cahaya kuningnya jatuh ke lantai penuh debu, memberikan kesan hangat yang aneh—hangat yang tidak sepenuhnya meyakinkan, seolah ruangan itu hanya pura-pura menerima kehadiran matahari.

Nissa duduk di tangga utama, memegang serpihan batu seukuran kuku yang mereka temukan di pinggir sungai. Batu itu, meski kecil, memantulkan cahaya secara ganjil, seperti ada titik hitam yang menari di balik permukaannya.mAzizah berdiri tak jauh dari jendela besar, berusaha menenangkan napas. “Semuanya terasa… terlalu sunyi untuk ukuran pagi,” ucapnya pelan. Suaranya datar, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan. Nugraha, dengan wajah yang lelah dan lingkar mata gelap, membuka map berisi foto-foto dan catatan dari kasus-kasus sebelumnya. “Kita harus menyambung semuanya sebelum hari bergeser lagi,” katanya sambil menatap dua rekannya. “Entitas itu—apa pun dia—tidak pernah muncul sembarangan. Dia selalu menunjukkan potongan-potongan.” Nissa mengangguk. “Sungai, rumah Mita, lorong kos, rumah sakit… semua tempat itu bukan kejadian acak. Itu rute.”

“Rute?” Azizah menoleh. “Ya,” jawab Nissa. “Rute menuju sesuatu yang lebih besar daripada yang kita lihat.”

Saat ia mengucapkan kalimat itu, angin dingin bertiup dari lorong belakang observatorium. Tidak kencang, tidak kasar—justru terlalu lembut, seolah menuntun. Butiran debu menari perlahan, mengarah pada pintu besi tua yang selama ini tak pernah mereka buka sejak hari pertama.

Nugraha memperhatikan arah debu-debu itu, lalu menutup map pelan. “Sepertinya ini… sudah waktunya.” Azizah memandang dua sahabatnya, napasnya tersendat sejenak. “Kita siap?” Tidak ada jawaban verbal. Tetapi ketiganya berdiri pada waktu yang hampir bersamaan—gerakan yang sinkron, seperti tubuh mereka telah memutuskan sebelum pikiran sempat ikut campur. Di luar, matahari semakin tinggi. Pagi terasa semakin jelas. Namun di dalam observatorium… pagi itu tidak pernah benar-benar milik mereka.

Nugraha menyentuh gagang pintu besi. Pintu itu bergetar pelan, seolah ada sesuatu di baliknya yang ikut bernapas. Dan saat pintu itu terbuka… kegelapan itu tidak menunggu malam untuk muncul. Pintu besi itu menjerit pelan saat terbuka, mengeluarkan suara yang terlalu panjang dan tercekik untuk ukuran sebuah logam tua. Nissa mengambil napas pendek; Azizah refleks meraih bahu Nugraha; sementara Nugraha sendiri tidak memalingkan pandangannya dari kegelapan yang menganga di balik pintu. Ruang di balik pintu bukan koridor, bukan ruang penyimpanan, bukan pula area observatorium yang pernah tercatat di blueprint manapun. Itu adalah ruang silinder yang turun ke bawah seperti sumur, dengan dinding-dinding batu yang tidak sepantasnya ada di bangunan modern. Batu-batunya basah, berlumut, dan memantulkan kilau redup yang membuatnya tampak seolah bergerak sendiri.

Tidak ada tangga. Tidak ada pegangan. Hanya turunan spiral yang sangat halus, semacam lintasan—seperti jalan melingkar ke bawah yang dibuat bukan untuk manusia berkaki dua.

Azizah menelan ludah. “Aku yakin… ini bukan bagian dari dunia kita.”

“Dan kita tidak punya pilihan lain selain masuk,” jawab Nugraha.

Nissa menarik napas dalam-dalam. “Ayo.”

Mereka mulai berjalan menuruni lintasan spiral itu, menuruni ruang yang semakin lembap dan semakin sunyi, tapi sunyi yang berbeda: bukan sekadar tidak ada suara, melainkan suara mereka sendiri seperti disedot setiap kali keluar dari mulut. Kaki mereka menapak, tetapi tidak ada gema. Napas mereka terdengar, tapi hanya di dalam kepala masing-masing, tidak keluar. Setiap langkah, terasa seperti dijaga oleh ribuan mata dari balik dinding batu.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mereka tiba di lantai dasar—lantai bulat yang dilapisi debu tipis dan serpihan-serpihan batu hitam seukuran kuku, sama persis dengan serpihan dari sungai tempat pendaki ditemukan meninggal. Nissa berlutut, menyentuh salah satu serpihan. Serpihan itu hangat.

“Tempat ini… tempat serpihan-serpihan ini berasal,” gumamnya.

Tiba-tiba dinding ruangan bergetar pelan, seperti seseorang (atau sesuatu) menarik napas dari balik batu. Dari tengah ruangan, sebuah bayangan mulai tumbuh. Tidak muncul seperti manusia—lebih seperti asap hitam yang dipaksa mengambil bentuk. Bayangan itu membentuk dua tangan kurus, lalu wajah samar tanpa detail, lalu tubuh tinggi bungkuk dengan dada cekung. Bayangan itu mirip seperti Genderuwo tapi bukan, bukan sepenuhnya manusia, bukan sepenuhnya entitas astral.

Ia seperti hasil gagal dari sesuatu yang pernah dicoba manusia.

Nugraha bergerak maju, suaranya stabil namun tegang. “Jadi… kau ini asalnya dari sini?” Bayangan itu tidak menjawab dengan kata-kata. Tapi lantai bergema—bukan suara, melainkan gema ingatan. Tiba-tiba, ruangan itu memproyeksikan fragmen-fragmen:

— Para ilmuwan di observatorium tua, memakai jas laboratorium, mengukur sesuatu di ruangan gelap.

— Anak-anak dalam tabung kaca, retina mata mereka bergerak cepat seolah melihat dua dunia sekaligus.

— Gadis kecil menangis, tubuhnya gemetar saat lorong rumah sakit dipenuhi cahaya astral yang menyala lalu padam.

— Pendaki yang tewas, berlutut sambil memegangi kepala, melihat garis tipis antara dunia manusia dan astral terbuka di hadapannya.

— Mahasiswa kos, berdiri di lorong, menatap sesuatu yang tidak terlihat CCTV: sebuah tangan hitam besar menyentuh bahunya dan menyeretnya ke “ruang di balik keheningan”.

— Mita yang menangis, memegang pensil, menggambar tiga sosok yang belum pernah ia lihat tetapi selalu dipanggil oleh suara dari jendela.

Semua potongan itu seperti ditusukkan langsung ke kepala mereka.

“Cukup!” Azizah berteriak. Bayangan itu berhenti, lalu mengarahkan wajahnya yang samar ke trio penyelidik itu. Tanpa suara, tanpa bibir, tanpa gerakan mulut—tapi kata-kata itu muncul dalam kepala mereka: “Mereka menciptakan pintu. Aku adalah penjaga pintu itu. Dan kalian bertiga… adalah kunci terakhir.”

Nissa memegang dadanya. “Kenapa kami?” Bayangan itu menunjukkan lagi serpihan batu hitam. “Karena kalian punya sesuatu yang mereka tidak punya. Kalian pernah melihat dua alam tanpa hancur.” Azizah memejamkan mata. “Yang berarti… kami juga sasaran mereka.” “Bukan sasaran. Pewaris.”

Ruangan kembali bergetar. Dinding-dinding batu bergeser, membuka jalur lain—lorong lurus yang lebih gelap, lebih sunyi, lebih dingin. Dalam lorong itu, mereka melihat sesuatu… sesuatu yang tidak mungkin ada.

Lihat selengkapnya