Pagi merayap pelan dari balik perbukitan, menumpahkan cahaya keemasan ke atas kota yang selama berminggu-minggu terasa seperti ruang tertutup tanpa oksigen. Tetapi bagi Nissa, Azizah, dan Nugraha, cahaya pagi itu tidak pernah benar-benar terasa sebagai pertanda akhir. Bukan setelah semua yang mereka lihat. Bukan setelah apa yang mereka hadapi—dan apa yang mereka lepaskan.
Mereka berdiri bertiga di tepian hutan, diantara batas peradaban dan kegelapan yang nyaris menelan mereka hidup-hidup. Sungai tempat pendaki itu ditemukan mengalir pelan beberapa meter dari mereka. Tenang. Seolah tidak pernah menjadi panggung kematian yang membengkokkan logika. Setelah kejadian terakhir di rumah sakit terlantar—setelah tubuh mereka dilempar entitas itu ke dalam pusaran waktu, lokasi, dan ketakutan—ketiganya bangun di tepi sungai ini dalam keadaan basah kuyup, menggigil, tapi hidup. Tidak ada darah. Tidak ada jejak entitas. Tidak ada suara yang menggeram dari balik pohon seperti sebelumnya. Hanya sepi. Sepi yang terlalu sunyi—seolah dunia sedang bernapas perlahan, menunggu sesuatu.
Hari itu, mereka kembali ke kota. Menemui polisi. Menemui keluarga pendaki yang meninggal. Menemui orang tua Mita. Menjelaskan apa yang bisa dijelaskan, menyembunyikan yang tidak mungkin dipahami manusia pada umumnya. Kepolisian menutup kasus itu sebagai “kematian akibat kondisi ekstrem di lapangan”.
Tidak ada yang menyebut observatorium.
Tidak ada yang menyebut rumah sakit terlantar.
Tidak ada yang menyebut entitas tak bernama itu.
Tentu saja tidak. Mereka bertiga menyepakati itu. Kebenaran kadang lebih mematikan daripada kebohongan.
Mita dipulangkan ke keluarganya. Gadis kecil itu sudah kembali bisa bicara, meski hanya sepatah dua kata setiap beberapa jam. Tapi setiap kali melihat Nissa, ia selalu mengulang kalimat yang sama, dengan suara selembut kapas yang diisi ketakutan:
“Dia belum selesai.”
Nissa tidak pernah tahu apakah ia harus memeluk Mita atau menutup telinganya.
Beberapa minggu setelah kejadian itu, luka-luka mulai mengering. Azizah kembali mengajar. Nugraha kembali membuat dokumentasi. Nissa kembali bekerja di laboratorium kampus. Tetapi mereka bertiga menyadari sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada perjumpaan dengan entitas itu:
Mereka kini saling terhubung.
Secara permanen.
Tidak dalam cara romantis atau sentimental. Tetapi dalam cara yang hanya dipahami oleh orang-orang yang sudah melihat kegelapan yang sama. Kadang… saat mereka sedang sendiri…
Saat lampu mati…
Saat bayangan jatuh ke sudut ruangan…
Mereka kembali merasakan denyut yang sama. Denyut dari sesuatu yang pernah menyentuh mereka. Menarik mereka. Memanggil mereka. Menggunakan mereka. Entitas itu tidak muncul lagi secara fisik. Tidak ada teleportasi. Tidak ada distorsi waktu. Tidak ada jejak langkah dari ruang hampa. Namun pada malam tertentu, Nissa bersumpah melihat jejak telapak tangan kecil melekat di jendela rumahnya—telapak tangan yang ukurannya sama seperti Mita, tetapi arahnya menghadap ke dalam, bukan ke luar.
Pada saat lain, saat sedang bekerja, Azizah menemukan sketsa hitam pekat di dalam bukunya. Sketsa observatorium. Sketsa jalan tempat bayangan berjubah itu menatap mereka. Sketsa rumah sakit yang kosong. Ia tidak pernah menggambar itu. Tetapi seseorang—atau sesuatu—menggambar melalui dirinya. Menggunakan dirinya.