Istana Negara, Jakarta – Beberapa Bulan setelah Pengesahan UU Kesiapan Berkeluarga (Sekitar Pertengahan 2045)
Langit Jakarta sore itu memerah saga, memantulkan cahayanya yang hangat pada jajaran jendela tinggi Ruang Kerja Presiden di Istana Negara. Beberapa bulan telah bergulir sejak palu Ketua DPR diketuk di Gedung Parlemen, mengesahkan Rancangan Undang-undang Kesiapan Berkeluarga menjadi Undang-undang setelah melalui pertarungan politik yang begitu sengit dan menguras emosi. Badai politik paling ganas yang pernah menerpa pemerintahan Nisa Farha itu kini telah mereda, berganti dengan kesibukan implementasi kebijakan baru yang lebih terukur, lebih teknis, tetapi tak kalah rumitnya.
Di atas meja mahoni Presiden Nisa Farha yang selalu tertata rapi, tumpukan dokumen kini lebih banyak berisi laporan evaluasi awal dari BKKBN dan Kementerian PPPA, draf peraturan-peraturan pelaksana turunan UU Keluarga, serta jadwal sosialisasi intensif ke daerah-daerah yang masih menunjukkan resistansi. Nisa baru saja menandatangani lembar disposisi terakhir untuk hari itu, sedikit meregangkan bahunya yang terasa kaku. Secangkir teh melati yang mulai mendingin berdiri setia di sisinya, aromanya yang lembut hampir hilang ditelan aroma khas kertas dokumen dan udara dingin yang konstan dari pendingin ruangan. Ada kelegaan yang samar, namun nyata terasa di udara sore itu. Kelegaan seorang nakhoda yang berhasil membawa kapalnya melewati amukan badai terburuk, meskipun ia tahu lautan di depan masih menyimpan banyak tantangan.
Senyum tipis yang tulus tersungging di bibir Nisa saat matanya menangkap laporan singkat dari Angel Marina di layar tabletnya. Laporan itu berisi respons awal yang cukup positif dari beberapa kelompok perempuan dan lembaga konseling keluarga terhadap program konseling pranikah yang baru mulai berjalan sebagai bagian dari implementasi UU di beberapa kota percontohan. Setidaknya, langkah pertama yang paling sulit dan paling kontroversial itu telah mulai membuahkan tunas harapan kecil.
Namun, senyum kepuasan itu tak bertahan lama di wajah Nisa. Tatapannya beralih pada laporan lain yang tergeletak di meja, sebuah laporan berkala yang disiapkan oleh Anton Prasetya, Staf Khususnya untuk Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. Laporan itu berisi data kuartalan mengenai tren partisipasi angkatan kerja muda dan perkembangan beberapa sektor ekonomi prioritas, termasuk sektor ekonomi kreatif yang selalu Nisa anggap sebagai salah satu kunci masa depan Indonesia. Angka-angka statistik itu, meskipun disajikan dalam grafik berwarna cerah dan infografis yang menarik, terasa membisikkan keresahan yang berbeda di benak Nisa.
Ada sesuatu yang janggal. Pertumbuhan di beberapa subsektor kreatif andalan—seperti animasi, pengembangan aplikasi seluler, desain grafis, bahkan kreator konten digital—terlihat stagnan, bahkan beberapa menunjukkan sedikit penurunan dibandingkan proyeksi optimis yang dibuat pascapeluncuran stimulus ekonomi kreatif tahun lalu. Padahal, data dari Kementerian Pendidikan yang ia pegang menunjukkan hal sebaliknya: minat studi di jurusan-jurusan terkait (Desain Komunikasi Visual, Animasi, Ilmu Komputer) justru meningkat signifikan, jumlah lulusan bertambah banyak, dan berbagai fasilitas pendukung seperti inkubator perusahaan rintisan atau ruang kreatif bersama mulai bermunculan di banyak kota.
Nisa mengerutkan keningnya. Ada ketidaksesuaian yang ganjil di sini, pikirnya. Potensi besar tampak membentur sebuah dinding yang tak kasatmata. Kita punya banyak talenta muda, minatnya tinggi, infrastruktur pendidikannya perlahan kita perbaiki. Tapi kenapa serapannya di industri, terutama di level yang membutuhkan inovasi orisinal dan penciptaan kekayaan intelektual (IP) asli Indonesia, terasa begitu lambat? Kenapa kita masih cenderung menjadi pasar konsumen yang besar, bukan produsen konten atau teknologi kreatif yang disegani?
"Terlihat ada anomali, bukan, Bu Presiden?" suara Anton Prasetya yang tenang tiba-tiba terdengar dari ambang pintu ruang kerja, seolah membaca pikiran Nisa. Staf khususnya yang selalu analitis itu baru saja masuk tanpa suara untuk mengambil dokumen lain yang perlu ditindaklanjuti, tetapi matanya yang tajam menangkap ekspresi Nisa yang terpaku pada laporan yang ia siapkan.
Nisa mengangkat wajahnya, sedikit terkejut namun mengangguk pelan. "Ya, Anton. Sangat anomali," jawabnya. Ia mempersilakan Anton duduk sejenak di kursi tamu di hadapan mejanya. "Saya sedang memikirkan ini. Kita punya begitu banyak talenta muda yang potensial, minat mereka pada industri kreatif sangat tinggi, fasilitas pendidikan dan dukungan awal perlahan kita perbaiki bersama kementerian terkait. Tapi kenapa serapannya di industri, terutama yang membutuhkan inovasi orisinal dan keberanian mengambil risiko, terasa lambat? Kenapa rasanya kita masih lebih banyak menjadi pasar bagi produk kreatif luar, bukan menjadi produsen yang karyanya mendunia?"
Anton merapikan letak kacamatanya yang berbingkai hitam tebal, sebuah kebiasaannya saat hendak menyampaikan analisis mendalam. "Beberapa analisis awal dari tim kami di lapangan, Bu," ia memulai, "tentu selain isu-isu klasik seperti akses permodalan ventura yang masih terbatas atau tantangan menembus jejaring pasar global, kami menemukan adanya indikasi kuat faktor nonekonomi yang berperan signifikan."
"Faktor nonekonomi?" ulang Nisa, tertarik. "Betul, Bu," lanjut Anton. "Semacam... keraguan kolektif? Atau mungkin lebih tepatnya, insecurity yang meluas di kalangan kreator muda kita?" Ia membuka tabletnya, menunjukkan beberapa data pendukung. "Analisis sentimen media sosial dan diskusi di forum-forum daring para kreator menunjukkan tingkat insecurity yang cukup tinggi. Banyak sekali talenta muda yang sebenarnya sangat berbakat, punya ide-ide brilian, tapi mereka tidak berani merilis karya orisinal mereka sendiri ke publik."
"Tidak berani? Kenapa?" tanya Nisa penasaran. "Berbagai alasan, Bu," jawab Anton. "Takut dihakimi oleh warganet atau sesama kreator. Takut dianggap karyanya tidak cukup bagus, tidak sesuai 'standar internasional'. Takut gagal total dan malu. Takut tidak se-'keren' tren global yang sedang populer. Akibatnya," Anton menyimpulkan, "banyak dari mereka yang akhirnya memilih jalan 'aman': menjadi pekerja lepas untuk proyek-proyek dari luar negeri yang spesifikasinya jelas, atau sekadar meniru mentah-mentah tren global yang sudah pasti laku di pasar, daripada bersusah payah menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan orisinal dari identitas kita sendiri."