Istana FYP

Shabrina Farha Nisa
Chapter #2

Percikan Berani, Jaga Nilai

Istana Negara, Jakarta – Beberapa Minggu Setelah Kunjungan ke Pameran FSRD (Sekitar Juli-Agustus 2045)

Benih gagasan yang tertanam dalam benak Nisa Farha setelah perbincangan menusuk kalbu dengan Rini, sang ilustrator muda beberapa minggu lalu, kini mulai bertunas dan mencari bentuk. Keresahan tentang 'defisit kepercayaan diri' yang mengunci potensi kreatif bangsa tak lagi hanya menjadi renungan pribadi di malam hari atau diskusi intim dengan Reza. Keresahan itu telah mengkristal menjadi sebuah konsep awal, sebuah draf pemikiran yang siap ia perjuangkan dan pertajam bersama lingkaran kekuasaan terdekatnya.

Hari ini, Nisa mengumpulkan beberapa menteri kunci dan staf intinya di Ruang Rapat Terbatas Istana. Berbeda dengan Ruang Rapat Kabinet yang formal dan luas, ruangan ini terasa lebih intim, didesain khusus untuk diskusi strategis yang membutuhkan pemikiran mendalam dan pertukaran gagasan yang lebih bebas. Meja bundar besar mendominasi ruangan, memungkinkan semua peserta saling bertatapan langsung. Selain Anton Prasetya dan Angel Marina yang sudah terlibat sejak awal dalam mendiagnosis masalah, hadir pula Menteri Koordinator Perekonomian, Bapak Darmawan, dengan wajahnya yang selalu tampak serius menganalisis angka dan dampak fiskal. Di sampingnya duduk Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Mas Gibran, yang dikenal sangat antusias pada isu pengembangan sumber daya manusia dan selalu terbuka pada inovasi kebijakan. Hadir pula Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Ibu Wulan, sosok enerjik yang portofolionya paling terdampak langsung oleh isu ini dan selalu bersemangat mencari peluang baru. Tak ketinggalan, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Bapak Hartono, yang cenderung lebih berhati-hati, selalu memikirkan implikasi regulasi dan dinamika liar di ruang digital.

Suasana terasa sedikit berbeda dari rapat-rapat kebijakan ekonomi atau politik yang biasa mereka hadiri. Ada lapisan antisipasi dan sedikit kebingungan di udara. Undangan rapat kali ini memang membawa agenda yang tidak biasa, bahkan terkesan abstrak bagi sebagian menteri: "Penguatan Ekosistem Kreatif Nasional Melalui Pendekatan Kesejahteraan Mental dan Keberanian Berkarya."

Nisa membuka rapat dengan tenang, menyapa satu per satu menteri dan stafnya dengan senyumnya yang hangat namun menyimpan kesungguhan. Matanya memancarkan keyakinan kuat akan urgensi isu yang akan ia angkat. Ia tak membuang waktu, langsung mempersilakan Anton Prasetya untuk memaparkan temuan data yang lebih komprehensif, hasil pendalaman selama beberapa minggu terakhir.

Layar besar di dinding ruangan menampilkan grafik-grafik dan analisis data yang mengonfirmasi sekaligus mempertajam temuan awal Anton. Potensi besar talenta kreatif Indonesia terlihat jelas dari data jumlah mahasiswa seni dan desain, partisipasi dalam komunitas kreatif daring, dan pertumbuhan pasar domestik untuk produk budaya populer. Namun, data itu disandingkan dengan fakta lain yang kontras: dominasi karya impor di bioskop dan platform streaming, rendahnya kontribusi IP (Intellectual Property) orisinal Indonesia di pasar global, serta hasil survei-survei independen yang menunjukkan tingginya tingkat kecemasan (anxiety), burnout, dan sindrom penipu (impostor syndrome) yang dilaporkan oleh para kreator muda. Anton juga menyajikan analisis sentimen media sosial yang lebih detail: polarisasi tajam dalam menanggapi karya lokal—antara dukungan fanatik buta dan kritik destruktif yang seringkali menyerang pribadi kreatornya—menciptakan iklim yang sangat tidak kondusif bagi eksperimentasi dan pengambilan risiko kreatif.

Setelah paparan data yang dingin namun menggugah itu selesai, Nisa mengambil alih. Ia tidak hanya berbicara tentang angka dan grafik. Dengan nada yang lebih personal, ia berbagi kembali pengalamannya bertemu Rini di pameran seni rupa tempo hari—gadis ilustrator digital dengan bakat luar biasa yang justru merasa karyanya 'biasa saja', 'tidak ada apa-apanya', dan terlalu takut pada penilaian orang lain.

"Bapak dan Ibu Menteri yang saya hormati," Nisa memulai, suaranya yang jernih namun penuh bobot memenuhi ruangan. "Data yang dipaparkan Anton tadi tentu mengkhawatirkan kita semua dari sisi ekonomi dan daya saing bangsa. Tapi yang lebih mengkhawatirkan bagi saya secara pribadi," ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah di hadapannya, "adalah cerita-cerita manusia di balik angka-angka itu. Cerita tentang potensi anak-anak muda kita yang terkunci rapat oleh keraguan diri. Cerita tentang suara-suara unik dari budaya kita yang mungkin tidak akan pernah terdengar di panggung dunia karena kreatornya terlalu takut dihakimi, takut gagal, atau takut dianggap tidak sesuai dengan 'standar' yang entah siapa yang menetapkan."

Ia membiarkan kata-katanya meresap. "Kita tidak bisa membangun Indonesia Emas yang kita cita-citakan hanya dengan membangun jalan tol dan pelabuhan, hanya dengan menjaga stabilitas ekonomi makro, jika fondasi mental dan jiwa manusianya rapuh," lanjutnya. "Jika generasi penerus kita tidak memiliki keberanian untuk bermimpi besar, mencoba hal baru, menyuarakan gagasan orisinal, dan bahkan belajar dari kegagalan sekalipun. Kreativitas dan inovasi adalah mata uang masa depan, dan keduanya membutuhkan keberanian sebagai bahan bakarnya."

"Oleh karena itu," Nisa menegakkan duduknya, matanya kini menyala dengan semangat yang familier, "Saya ingin mengusulkan sebuah langkah yang lebih dari sekadar program biasa. Saya ingin kita memulai sebuah gerakan nasional. Sebuah ikhtiar bersama untuk menyalakan kembali percikan keberanian di hati para kreator kita, para inovator kita, dari Sabang sampai Merauke. Dari mereka yang berkarya di studio canggih di ibu kota, hingga mereka yang berkarya di sanggar sederhana di pelosok desa." Ia tersenyum tipis. "Saya menamakannya sementara... 'Percikan Berani'."

Keheningan sesaat menyusul pengumuman Nisa. Para menteri tampak mencerna gagasan yang terdengar cukup filosofis dan berbeda dari agenda rapat kabinet biasanya itu. Menko Perekonomian, Pak Darmawan, yang pertama angkat bicara, nadanya seperti biasa, penuh pertimbangan pragmatis. "Sebuah visi yang sangat mulia dan inspiratif, Ibu Presiden," Pak Darmawan memulai dengan hati-hati. "Namun, izinkan saya bertanya dari sisi yang mungkin terdengar kurang puitis. Bagaimana kita akan mengukur return on investment dari sebuah 'kepercayaan diri'? Di tengah keterbatasan anggaran negara dan begitu banyak prioritas pembangunan lain yang mendesak—infrastruktur, kesehatan, pendidikan dasar—bagaimana kita bisa meyakinkan publik, dan terutama rekan-rekan kita di DPR nanti, bahwa investasi pada sesuatu yang seabstrak 'keberanian berkarya' ini adalah langkah yang strategis dan terukur hasilnya?"

Sebelum Nisa sempat menjawab pertanyaan fundamental itu, Mendikbudristek Mas Gibran menyela dengan antusiasme yang meluap. "Justru ini sangat strategis, Pak Menko, Ibu Presiden!" serunya. "Ini sejalan sekali dengan semangat Merdeka Belajar yang sedang kita gulirkan! Kita perlu mendobrak cara pandang lama dalam sistem pendidikan kita yang seringkali tanpa sadar mematikan kreativitas dan hanya fokus pada hasil akhir berupa nilai angka, bukan pada proses penemuan diri dan pembangunan karakter." Ia menatap Nisa. "Membangun self-worth, resiliensi mental, dan keberanian mengambil risiko sejak dini di bangku sekolah adalah kunci masa depan bangsa ini. Saya sangat mendukung jika ada program konkret dari gerakan ini yang bisa disinergikan langsung dengan kurikulum merdeka, kegiatan ekstrakurikuler, atau platform pendidikan digital kita."

Menparekraf Ibu Wulan ikut menimpali dengan gaya bicaranya yang cepat dan penuh semangat. "Setuju sekali, Mas Gibran! Ibu Presiden, Bapak Menteri sekalian, potensi ekonomi kreatif kita ini betul-betul raksasa yang masih tertidur!" "Film, musik, gim, fesyen, kuliner, kriya kita punya potensi luar biasa. Tapi jujur saja, seringkali kita kalah bersaing di pasar global bukan melulu karena kualitas teknis, tapi karena mentalitas 'berani tampil beda'-nya ini. Keberanian untuk mengangkat cerita lokal kita sendiri, memasarkan produk orisinal kita dengan percaya diri. Ini yang masih perlu diasah bersama." Ia tersenyum lebar. "Jika gerakan 'Percikan Berani' ini bisa memantik itu, wah... dampaknya ke pariwisata, ke citra bangsa di mata dunia, akan luar biasa dahsyat!"

Menkominfo Bapak Hartono mengangguk-angguk setuju mendengar antusiasme dua rekannya, tetapi ia segera menambahkan nada kehati-hatian yang menjadi ciri khasnya. "Saya sepakat sepenuhnya dengan potensi positifnya, Ibu Presiden, rekan-rekan Menteri," ujarnya. "Namun, kita juga harus realistis melihat kondisi ruang digital kita saat ini yang sangat riuh, seringkali kejam, dan penuh jebakan. Mendorong keberanian berekspresi sebesar-besarnya harus diimbangi secara paralel dengan penguatan literasi digital secara masif dan penegakan etika digital yang jelas." Ia menatap Nisa. "Bagaimana kita memastikan 'percikan berani' ini tidak justru menyulut api konten negatif yang lebih besar? Bagaimana mencegahnya menjadi pembenaran untuk menyebar hoaks, melakukan perundungan siber, atau melanggar privasi orang lain atas nama 'kebebasan berekspresi'? Kita perlu kerangka kerja etika dan tanggung jawab yang sangat jelas dan kokoh sejak awal."

Nisa tersenyum mendengar beragam perspektif yang kaya itu—mulai dari kekhawatiran anggaran, antusiasme pendidikan, potensi ekonomi, hingga peringatan tentang risiko digital. "Terima kasih banyak atas masukan dan perspektif Bapak dan Ibu sekalian. Saya sangat menghargainya," ujar Nisa tulus. "Dan saya setuju sepenuhnya. Ini bukan hanya tentang bagaimana kita menyalakan api keberanian, tapi juga bagaimana kita memastikan api itu menghangatkan dan menerangi, bukan malah membakar rumah kita sendiri." Ia menatap berkeliling. "Karena itulah, setelah mendengar masukan Pak Hartono dan merenungkan kembali potensi ekses negatifnya, saya ingin mengusulkan penyempurnaan nama dan konsep gerakan ini. Kita tidak bisa hanya mendorong 'Percikan Berani' tanpa pagar yang jelas. Keberanian harus selalu berjalan beriringan dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, saya ingin gerakan ini berdiri di atas dua pilar yang sama kuat: Pemberdayaan Kreatif dan Tanggung Jawab Etis. Dan nama gerakannya kita sempurnakan menjadi: 'Percikan Berani, Jaga Nilai'," tegas Nisa.

Nama baru itu terasa lebih lengkap, lebih seimbang. Para menteri tampak mengangguk setuju. Nisa kemudian menugaskan mereka untuk segera membentuk gugus tugas antarkementerian, dipimpin bersama oleh Mendikbudristek dan Menparekraf, dengan dukungan penuh dari Kemenko Perekonomian dan Kemenkominfo, serta melibatkan Anton dan Angel dari tim Istana. Tugas mereka jelas: dalam dua minggu ke depan, merumuskan pilar-pilar program yang konkret, terukur, inklusif, mudah diakses, dan yang terpenting, memiliki kerangka etika dan tanggung jawab yang kuat, untuk dipresentasikan kembali kepada presiden.

Rapat ditutup dengan suasana optimisme baru yang terkendali, meski semua sadar bahwa tantangan implementasi gagasan besar ini tidaklah mudah.

Lihat selengkapnya