Gedung Teater, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta – Tanggal Peluncuran Resmi (Sekitar Agustus-September 2045)
Udara di dalam Gedung Teater Utama Taman Ismail Marzuki terasa berdenyut oleh energi yang unik pagi itu—campuran antara antusiasme para seniman dan kreator muda yang memenuhi kursi penonton, keingintahuan para wartawan yang menyiapkan kamera dan buku catatan mereka, keseriusan para pejabat pemerintah yang duduk di barisan depan, dan sedikit skeptisisme yang tak terhindarkan dari beberapa pengamat budaya dan politik yang turut hadir. Pemilihan TIM sebagai lokasi peluncuran resmi Gerakan Nasional "Percikan Berani, Jaga Nilai" bukanlah kebetulan. Nisa Farha, melalui arahan kepada tim Istana, sengaja memilih tempat ini—jantung ekosistem seni dan budaya Jakarta—untuk mengirimkan pesan kuat bahwa gerakan ini berakar pada dunia kreativitas itu sendiri, bukan sekadar program birokrasi dingin yang lahir dari balik meja Istana.
Panggung utama didesain minimalis, tetapi apik. Latar belakangnya hanya layar LED besar yang menampilkan logo kampanye: sebuah percikan api dinamis berwarna-warni cerah yang membentuk siluet tunas yang sedang tumbuh, melambangkan potensi yang siap mekar. Lampu sorot menari lembut di atas panggung, menciptakan suasana yang modern namun tetap hangat. Di barisan depan, Reza Satria duduk tenang di antara beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Tatapannya fokus ke arah panggung, senyum tipis namun penuh dukungan tersungging di bibirnya saat ia menunggu giliran istrinya berbicara. Ia tahu betapa Nisa telah mempersiapkan momen ini, bukan hanya pidatonya, tapi seluruh konsep gerakan yang lahir dari keresahan hatinya. Di belakang panggung, Angel Marina memberikan semangat terakhir pada Nisa, memastikan setiap detail penampilan berjalan lancar, sementara Anton Prasetya mengecek ulang materi presentasi pendukung tentang empat pilar program.
Setelah sambutan pembuka yang penuh semangat dari Menparekraf Ibu Wulan, yang memaparkan potensi besar ekonomi kreatif jika didukung oleh mentalitas kreator yang kuat, tiba giliran yang ditunggu-tunggu. Pembawa acara dengan suara merdunya mempersilakan Presiden Republik Indonesia, Ibu Nisa Farha, untuk naik ke podium menyampaikan pidato peluncuran.
Tepuk tangan membahana saat Nisa melangkah maju dari sisi panggung. Ia mengenakan blus tenun modern berwarna jingga cerah yang memancarkan optimisme, dipadukan dengan rok span berwarna krem. Penampilannya sederhana namun memancarkan wibawa. Ia berhenti sejenak di balik podium akrilik bening, menyapu pandangannya ke seluruh hadirin—dari seniman senior hingga mahasiswa, dari pejabat hingga pegiat komunitas. Senyumnya hangat seperti biasa, namun matanya menyiratkan kesungguhan yang dalam, sebuah refleksi dari perjalanan panjang yang telah ia lalui untuk sampai pada gagasan ini.
"Bapak, Ibu, Saudara-saudari sekalian, para pegiat, pencinta, dan pelaku kreativitas Indonesia yang saya banggakan," Nisa memulai, suaranya jernih dan berwibawa, seketika menangkap perhatian seluruh ruangan. "Hari ini, kita berkumpul di tempat yang bersejarah bagi denyut nadi seni dan budaya bangsa ini, bukan hanya untuk meresmikan sebuah program pemerintah yang baru. Lebih dari itu, hari ini kita berkumpul untuk bersama-sama memulai sebuah gerakan. Sebuah ikhtiar kolektif untuk menjawab sebuah keresahan mendalam yang mungkin kita semua pernah rasakan, baik secara pribadi dalam proses kreatif kita, maupun saat kita mengamati denyut nadi bangsa ini."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali secara ringkas, tanpa menyebut nama Rini secara eksplisit, tentang pertemuannya dengan mahasiswi seni rupa yang sangat berbakat namun begitu meragukan nilai karyanya sendiri. Ia mengaitkan kisah personal itu dengan data yang menunjukkan potensi besar kreativitas anak bangsa yang seringkali masih terpendam atau belum mencapai puncak optimalnya.
"Kita dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan keragaman budaya yang luar biasa kaya, talenta seni dan inovasi yang melimpah ruah di setiap sudut negeri ini," kata Nisa, nadanya penuh apresiasi. "Namun, terlalu sering saya melihat, kita mendengar, atau bahkan kita sendiri merasakan, adanya selapis tipis keraguan yang seolah menahan potensi emas itu untuk mekar sepenuhnya. Sebuah bisikan halus di dalam diri: 'Apakah aku pantas?', 'Apakah karyaku ini cukup bagus dibandingkan standar global?', 'Apakah suaraku yang berbeda ini layak didengar atau justru akan dicemooh?'" Ia berhenti sejenak, membiarkan penonton merenung. "Sebuah 'defisit kepercayaan diri' kolektif, sebuah insecurity yang tanpa sadar mungkin telah membatasi langkah kita sendiri untuk terbang lebih tinggi."
Nisa menatap hadirin dengan sorot mata yang kini menyala lebih terang, penuh keyakinan. "Keraguan ini, Saudara-saudari sekalian, bukan hanya soal perasaan personal yang mengganggu," tegasnya. "Ini adalah soal ekonomi bangsa kita yang kehilangan potensi pendapatan miliaran dari inovasi orisinal yang tak pernah lahir. Ini adalah soal identitas budaya kita yang bisa semakin tergerus jika kita hanya terus menerus menjadi konsumen atau peniru tren global tanpa berani menawarkan warna kita sendiri. Dan ini juga soal kesehatan mental generasi penerus kita, yang terbebani oleh tekanan untuk selalu sempurna dan lumpuh oleh ketakutan pada penilaian orang lain."
"Karena itulah," suaranya kini meninggi penuh semangat, "atas dasar keprihatinan dan harapan besar itulah, hari ini, dengan memohon rida Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan mengucap Bismillahirahmanirrahim, secara resmi kita luncurkan bersama: Gerakan Nasional 'Percikan Berani, Jaga Nilai!'"
Tepuk tangan kembali terdengar, kali ini lebih bersemangat dan lebih lama dari sebelumnya. Nisa tersenyum menerima respons positif itu, lalu melanjutkan dengan menjelaskan secara lugas dan mudah dipahami tentang empat pilar utama yang akan menopang gerakan tersebut: Akselerator Kreatif dan Mental sebagai kawah candradimuka untuk menempa keterampilan praktis sekaligus mental baja para kreator; Dana Percikan sebagai modal awal yang mudah diakses untuk mewujudkan ide-ide orisinal tanpa harus melalui prosedur birokrasi yang berbelit; Panggung Berani sebagai ruang etalase fisik dan digital untuk menampilkan karya-karya anak bangsa ke khalayak yang lebih luas; dan Piagam Jaga Nilai sebagai kompas etik bersama yang dirumuskan oleh komunitas sendiri.
Lalu, ia sampai pada bagian paling krusial dari pidatonya, pesan ganda yang menjadi jantung dari gerakan ini, pesan yang membedakannya dari sekadar program pemberdayaan biasa. "Namun," ujar Nisa, nadanya kini kembali lebih tegas, penuh penekanan yang terukur, "perlu saya garis bawahi dengan sangat jelas: keberanian yang ingin kita nyalakan melalui gerakan ini bukanlah keberanian yang buta. Bukan keberanian yang liar tanpa arah. Bukan keberanian untuk asal tampil beda, asal sensasional, atau asal viral tanpa memikirkan dampaknya." Ia menatap lurus ke arah hadirin, seolah ingin memastikan pesannya sampai ke setiap individu di ruangan itu. "Percikan Berani harus, dan akan selalu, berjalan beriringan, bergandengan tangan erat dengan semangat Jaga Nilai."
"Kita ingin setiap kreator Indonesia berani melompat lebih tinggi dari sebelumnya," lanjutnya, menggunakan metafora yang pernah ia diskusikan dengan Reza. "Berani mencoba hal-hal baru yang belum pernah terpikirkan. Berani menyuarakan perspektif uniknya yang mungkin berbeda dari mayoritas. Tapi, pada saat yang sama," ia menekankan, "kita juga ingin memastikan mereka tahu cara mendarat dengan selamat dan bertanggung jawab setelah lompatan berani itu. Kita ingin karya-karya anak bangsa tidak hanya memukau dunia dengan keindahan atau kecanggihannya, tapi juga membawa kebaikan, mencerdaskan kehidupan bersama, dan mempererat persatuan kita sebagai bangsa."
Ia berhenti sejenak. "Kebebasan berekspresi tanpa etika dan tanggung jawab adalah anarki digital yang merusak. Sebaliknya, etika tanpa keberanian untuk berkreasi dan berinovasi adalah stagnasi yang mematikan potensi terbaik kita."
"Piagam Jaga Nilai yang sedang dan akan terus kita rumuskan bersama seluruh elemen komunitas kreatif," lanjut Nisa, "bukanlah dimaksudkan sebagai alat sensor baru dari pemerintah. Sama sekali bukan." Ia menggeleng tegas. "Piagam ini adalah cermin kita bersama. Pengingat kolektif bahwa di balik setiap karya yang kita hasilkan, ada dampak nyata bagi orang lain. Di balik setiap kebebasan yang kita nikmati, ada tanggung jawab yang menyertainya. Tanggung jawab untuk tidak menyebarkan kebohongan atau hoaks. Tanggung jawab untuk tidak menjiplak karya orang lain. Tanggung jawab untuk tidak melakukan perundungan siber atau menyerang pribadi lawan diskusi. Tanggung jawab untuk tidak memanipulasi data demi keuntungan sesaat. Dan tanggung jawab untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman, dan keindonesiaan kita yang luhur."