Istana FYP

Shabrina Farha Nisa
Chapter #4

Karya Pertama, Badai Pertama

Lokasi (Istana, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya) dan Ruang Maya – Beberapa Bulan Setelah Peluncuran "Percikan Berani, Jaga Nilai" (Akhir 2045 - Awal 2046)

Bulan-bulan pertama setelah peluncuran resmi Gerakan Nasional "Percikan Berani, Jaga Nilai" di Taman Ismail Marzuki diwarnai oleh gelombang energi baru yang membuncah di ekosistem kreatif Indonesia. Seperti tanah kering yang akhirnya disiram hujan setelah kemarau panjang, program ini disambut dengan antusiasme yang melampaui ekspektasi awal tim Istana. Situs web resmi kampanye dibanjiri pengunjung, formulir aplikasi Dana Percikan diunduh puluhan ribu kali dari berbagai penjuru negeri, dan jadwal lokakarya daring maupun luring dari pilar Akselerator Kreatif & Mental di berbagai kota percontohan langsung penuh sesak oleh pendaftar. Ada harapan baru yang terasa bersemi.

Di sudut kamar kosnya yang sederhana namun kini terasa lebih lapang oleh harapan di Yogyakarta, Maya, sang ilustrator digital, akhirnya berhasil menaklukkan gelombang keraguan yang selama berminggu-minggu melumpuhkannya. Didorong oleh kesabaran mentor daringnya dari program Akselerator—seorang ilustrator senior yang dengan telaten membantunya memecah rasa cemasnya menjadi langkah-langkah kecil yang lebih terkelola—dan juga oleh keberaniannya sendiri yang tumbuh sedikit demi sedikit setiap hari, Maya akhirnya menekan tombol 'kirim' untuk proposal Dana Percikan. Proposalnya ambisius, tetapi penuh potensi: sebuah konsep serial ilustrasi digital naratif yang berani, menafsir ulang legenda-legenda perempuan kuat dari Nusantara (seperti Roro Jonggrang atau Calon Arang) dengan gaya visual kontemporer yang unik, menyisipkan komentar sosial halus tentang isu-isu kekinian seperti patriarki dan ketidakadilan gender.

Setiap kali ia membuka aplikasi surelnya setelah itu, jantungnya selalu berdebar lebih kencang. Hingga suatu sore yang mendung, surel yang ditunggu sekaligus paling ditakutinya itu tiba. Subjeknya singkat: "Pengumuman Seleksi Awal Dana Percikan Batch 1". Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Kalimat pertama langsung melompat ke matanya: "Selamat! Proposal Anda 'Nusantara Reimagined' dinyatakan lolos seleksi awal Dana Percikan..."

Maya membaca kalimat itu berulang kali, tak percaya. Air mata haru bercampur rasa panik yang aneh mengalir deras di pipinya. Ia diterima! Impiannya untuk bisa fokus mengerjakan proyek personalnya sendiri, didanai pula, menjadi kenyataan! Tapi seketika, suara keraguan yang licik itu kembali berbisik di telinganya: Apakah aku sanggup menyelesaikannya sesuai tenggat waktu? Bagaimana kalau hasilnya nanti jelek dan mengecewakan semua orang? Bagaimana kalau orang membenci interpretasiku terhadap legenda sakral ini?

Namun, kali ini, ada suara lain yang lebih kuat, suara yang ia dapatkan dari sesi konseling di Akselerator dan gaung pidato Presiden Nisa tempo hari: Fokus pada satu langkah kecil di depanmu. Nikmati prosesnya. Keberanian bukan berarti tidak ada rasa takut, tapi tetap melangkah meski takut. Maya menarik napas dalam-dalam, menyeka air matanya, lalu dengan tekad baru membuka perangkat lunak desainnya dan mulai membuat sketsa kasar pertama untuk panel komik Roro Jonggrang versinya. Percikan itu mulai menyala.

Di Jakarta yang riuh, Bima, sang musisi jalanan, juga mulai merasakan perubahan kecil namun signifikan dalam hidupnya. Setelah beberapa kali nekat tampil membawakan lagu-lagu kritisnya di acara musik komunitas kecil yang diadakan oleh sanggar seni mitra program "Panggung Berani", ia mulai mendapatkan pengakuan. Bukan dari pejabat atau label rekaman besar, tentu saja, tapi dari sesama musisi independen, aktivis sosial, dan lingkaran kecil penonton setia acara komunitas yang menghargai kejujuran lirik dan energi panggungnya. Kritikannya yang tajam kini mulai didengarkan dalam konteks karya seni yang patut diapresiasi, bukan sekadar teriakan frustrasi di pinggir jalan yang layak diabaikan atau ditertibkan.

Lihat selengkapnya