Istana FYP

Shabrina Farha Nisa
Chapter #5

Pukulan Integritas Awal Plagiarisme Andi

Berbagai Lokasi (Istana, Yogyakarta, Jakarta, Surabaya) dan Ruang Publik Digital – Beberapa Waktu Setelah Kontroversi Bima Mereda (Sekitar Awal 2046)

Kontroversi lagu Bima "Tikus Berdasi di Istana Kertas" perlahan mulai surut dari puncak pemberitaan dan perdebatan sengit di ruang publik. Meski demikian, kasus itu meninggalkan jejak membekas yang tak mudah hilang. Di ruang-ruang diskusi daring para kreator independen, perdebatan tentang batas-batas kritik sosial, penggunaan bahasa yang pantas, dan interpretasi Piagam Jaga Nilai terus membayangi, menciptakan atmosfer kehati-hatian baru. Bima sendiri, setelah melalui sesi-sesi pendampingan yang alot namun intensif di sanggar seni mitra Panggung Berani, mulai mencoba menulis lirik-lirik baru. Ia masih mempertahankan ketajaman kritiknya, namun dengan pilihan kata yang terdengar lebih terukur, metafora yang lebih dalam, meskipun hatinya masih dipenuhi gejolak antara idealisme pemberontakannya yang mentah dan tekanan halus untuk 'bermain lebih aman'.

Di Istana Negara, Anton Prasetya menyampaikan laporan evaluasi dampak awal dari kontroversi Bima kepada Presiden Nisa Farha. Data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: terjadi penurunan signifikan dalam jumlah pengajuan proposal Dana Percikan untuk genre-genre karya yang dianggap 'berisiko' atau berpotensi menimbulkan polemik, seperti satire politik, dokumenter investigatif, atau karya seni konseptual yang kritis. Sebaliknya, proposal untuk karya-karya yang terasa lebih 'aman' dan 'menghibur'—seperti tutorial memasak atau tata rias, konten motivasi generik, komedi slapstik ringan, atau video perjalanan indah—justru meningkat tajam.

"Retakannya mulai terlihat jelas, Bu Presiden," ujar Anton lirih, menunjuk grafik perbandingan genre proposal di layar tabletnya. "Kontroversi kasus Bima kemarin, meskipun kita sudah mencoba menanganinya secara seimbang dan tidak represif, tampaknya tetap mengirimkan sinyal 'peringatan' yang kuat bagi kreator-kreator lain. Efek jera atau chilling effect-nya mulai terasa nyata di lapangan. Mereka jadi lebih takut mengambil risiko."

Nisa menghela napas panjang, menatap grafik itu dengan kening berkerut. Ini persis seperti yang ia khawatirkan sejak awal merumuskan respons untuk kasus Bima. Menegakkan pilar 'Jaga Nilai' dengan terlalu kaku atau membiarkan kontroversi meledak tak terkendali, ternyata berisiko memadamkan api 'Percikan Berani' itu sendiri, setidaknya untuk sementara waktu dan untuk sebagian kreator.

Di Yogyakarta, Maya merasakan efek jera itu secara langsung di bilik kamar kosnya. Komik digitalnya yang mengangkat reinterpretasi legenda Roro Jonggrang dari perspektif feminis—menggambarkan sang putri Candi Prambanan bukan hanya sebagai korban kutukan cinta, tetapi sebagai sosok cerdas dan berani yang terjebak dalam intrik politik dan struktur patriarki kerajaannya—sudah hampir rampung untuk beberapa panel awal yang krusial. Visualnya detail, narasinya kuat. Mentornya dari program Akselerator terus mendorongnya via pesan singkat untuk segera mengirimkannya ke platform Panggung Berani Digital yang sedang mengadakan seleksi karya bulanan untuk showcase daring.

Tapi setiap kali Maya membuka file komik itu, perutnya terasa melilit oleh kecemasan. Bayangan Bima yang diserang habis-habisan di media sosial karena lirik lagunya yang dianggap 'kasar' dan 'menghina' terus terngiang di kepalanya. Bagaimana jika karyaku ini nanti dianggap 'melecehkan' cerita rakyat yang sakral? pikirnya cemas. Bagaimana jika ada kelompok budayawan konservatif atau kelompok agama yang tersinggung dengan interpretasiku? Bagaimana jika aku diserang secara personal, data pribadiku disebar, seperti yang kulihat menimpa beberapa kreator lain? Ia kembali menunda mengirimkan karya itu. Keraguan yang sempat berhasil ia lawan dengan susah payah setelah diterima Dana Percikan, kini terasa menebal kembali seperti kabut pagi yang dingin, melumpuhkan jemarinya di atas pena digital.

Namun, badai sesungguhnya yang akan menguji fondasi program "Percikan Berani, Jaga Nilai" hingga ke akarnya baru saja mengintip di cakrawala. Kali ini, badai itu datang dari arah yang sama sekali berbeda, menghantam pilar 'Jaga Nilai' dari sisi yang paling fundamental: orisinalitas, kejujuran informasi, dan integritas intelektual.

Pusaran badai itu bernama Andi Saputra. Seorang kreator konten video edukasi berusia awal dua puluhan, mahasiswa salah satu universitas swasta di Jakarta, yang personanya di layar selalu tampak ceria, antusias, dan penjelasannya tentang topik-topik rumit terdengar begitu cerdas dan mudah dicerna. Andi adalah salah satu 'bintang' paling bersinar dari angkatan pertama lokakarya Akselerator Kreatif dan Mental, khususnya di kelas "Membangun Personal Branding dan Engagement di Media Sosial". Sebelum ikut program, Andi hanyalah mahasiswa biasa dengan akun media sosial yang sepi pengikut. Namun, setelah mengikuti lokakarya beberapa bulan lalu, ia seolah menemukan formula ajaibnya.

Lihat selengkapnya