Istana Negara, Jakarta dan Berbagai Pelosok Indonesia – Awal Tahun 2048
Langit Jakarta membiru cerah pagi itu, membiaskan harapan palsu dengan ketenangan paginya yang seolah tak tersentuh oleh denyut kehidupan metropolitan yang terus berpacu bising di bawahnya. Di dalam Ruang Kerja Presiden yang sejuk dan senyap, Nisa Farha baru saja menyelesaikan rapat virtual singkat dengan beberapa gubernur dari wilayah timur Indonesia, membahas progres penyaluran bantuan sosial pascabencana alam kecil yang melanda Nusa Tenggara beberapa minggu lalu.
Dua tahun lebih telah berlalu sejak badai politik terakhir yang menguji ketahanan program "Percikan Berani, Jaga Nilai" hingga ke titik nadir. Kini, program itu berjalan dengan napas yang terasa lebih teratur, lebih matang, dan lebih hati-hati. Fokusnya telah bergeser dari sekadar menyalakan api keberanian menjadi menyeimbangkannya dengan penegakan etika dan tanggung jawab, sebuah pelajaran mahal yang dipetik dari berbagai kontroversi sebelumnya. Begitu pula dengan Undang-Undang Kesiapan Berkeluarga; implementasinya terus bergulir di bawah pengawasan ketat BKKBN dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Laporan-laporan awal dari beberapa daerah percontohan menunjukkan tren positif, meskipun berjalan lambat, dalam penurunan angka pernikahan dini dan peningkatan signifikan akses masyarakat terhadap konseling keluarga pranikah.
Secercah kepuasan yang langka hinggap sesaat di hati Nisa saat ia membubuhkan tanda tangan persetujuan pada lembar disposisi terakhir di atas meja mahoni kerjanya yang selalu tampak rapi dan terorganisir. Secangkir teh melati hangat—ritual paginya yang tak pernah berubah sejak ia menjabat—berdiri setia di sampingnya, menebarkan aroma lembut yang menenangkan, kontras dengan bau kertas dokumen dan udara dingin pendingin ruangan. Untuk sesaat, ia merasa seperti seorang nakhoda yang akhirnya berhasil membawa kapalnya melewati dua amukan badai besar berturut-turut—badai RUU Keluarga dan badai Percikan Berani. Lautan politik mungkin belum sepenuhnya tenang, masih ada riak-riak kecil dari oposisi dan arus bawah resistensi terhadap perubahan yang perlu terus diwaspadai, tapi setidaknya kapal besar bernama Indonesia ini masih terus berlayar maju, bahkan dengan arah kompas yang terasa lebih mantap menuju visi Indonesia Emas 2050 yang selalu ia impikan.
Namun, ketenangan pagi itu seketika terusik saat pintu ruang kerjanya diketuk pelan dan Angel Marina masuk, membawa sebuah map berwarna krem yang Nisa kenali sebagai map untuk laporan mendesak atau isu-isu sensitif yang memerlukan perhatian segera darinya. Wajah asisten kepercayaannya itu tampak berbeda dari biasanya; senyum efisien yang selalu menghiasi wajahnya kini digantikan oleh gurat keseriusan dan keprihatinan yang tak bisa disembunyikan.
"Selamat pagi, Ibu Presiden," sapa Angel, suaranya terdengar sedikit lebih pelan dari biasanya. "Maaf mengganggu waktu tenang Ibu. Ada sebuah laporan dan surat permohonan audiensi yang baru saja masuk pagi ini dari tim advokasi LBH Mitra di Palu, Sulawesi Tengah. Saya rasa Ibu perlu melihat ini segera."
Kening Nisa berkerut. LBH Sulteng? Perasaannya mulai tidak enak. Ia menerima map berwarna krem itu dari tangan Angel. Di dalamnya, terlampir ringkasan kasus hukum yang rapi, beberapa kliping berita dari koran lokal Palu, dan selembar surat permohonan audiensi yang ditulis tangan dengan tulisan yang gemetar namun rapi, menyiratkan sebuah keputusasaan yang mendalam. Nama pemohon audiensi itu langsung menusuk ingatan Nisa: Siti Rahayu.
Nama itu membawa Nisa kembali ke masa-masa awal perjuangan RUU Kesiapan Berkeluarga. Ia ingat pernah membaca sekilas berita tentang Siti beberapa bulan setelah UU itu disahkan dalam laporan media harian yang disiapkan Angel. Kisah Siti saat itu adalah success story awal yang mengharukan dari implementasi UU baru tersebut. Seorang gadis desa berusia 19 tahun dari keluarga sederhana di pedalaman Sulawesi Tengah, cerdas dan bercita-cita tinggi menjadi guru SD, dipaksa oleh keluarganya untuk menerima lamaran pernikahan dari seorang kepala desa yang usianya jauh lebih tua, seorang duda kaya raya yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi kuat di wilayah kecamatan mereka. Siti, yang ternyata diam-diam sering mendengarkan sosialisasi tentang UU Keluarga baru itu dari siaran radio komunitas di desanya, memberanikan diri untuk menolak perjodohan itu. Dengan bantuan seorang penyuluh lapangan BKKBN dan pendampingan dari LBH Mitra di Palu, ia mengajukan permohonan pembatalan rencana pernikahan ke Pengadilan Agama setempat. Dengan susah payah, melalui proses asesmen kesiapan mental dan finansial yang diamanatkan UU baru (yang jelas tidak dipenuhi oleh Siti yang masih bergantung penuh pada keluarga dan secara mental belum siap menikah), serta bukti adanya unsur paksaan, pernikahan itu akhirnya berhasil dibatalkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama. Sebuah kemenangan kecil yang berani melawan tradisi dan kekuasaan lokal, kemenangan yang sempat Nisa tandai sebagai kabar baik yang menguatkan keyakinannya akan dampak positif UU yang ia perjuangkan.
Namun, laporan di tangannya kini menceritakan babak selanjutnya dari kisah Siti Rahayu, sebuah babak yang jauh lebih kelam dan brutal. Sang kepala desa yang murka karena lamarannya ditolak dan merasa harga dirinya sebagai tokoh terpandang diinjak-injak oleh seorang gadis desa biasa, ternyata tidak tinggal diam. Ia melancarkan serangan balik. Bukan hanya menuntut balik Siti dan keluarganya ke Pengadilan Negeri atas tuduhan pencemaran nama baik karena menolak lamarannya, tapi juga secara absurd menuntut ganti rugi atas semua biaya persiapan lamaran dan rencana pernikahan yang 'gagal'. Lebih buruk lagi, memanfaatkan pengaruh dan kekuasaannya atas aparat desa dan Badan Pertanahan setempat, ia secara tiba-tiba menggugat kepemilikan sebagian besar tanah warisan satu-satunya milik keluarga Siti, dengan dalih sengketa batas tanah yang tak pernah ada sebelumnya selama puluhan tahun.
Laporan dari LBH Mitra itu melampirkan kronologi persidangan sengketa tanah di Pengadilan Negeri setempat yang membuat darah Nisa mendidih. Hakim ketua yang memimpin sidang tampak jelas sejak awal berpihak pada sang kepala desa yang berpengaruh. Saksi-saksi kunci dari pihak Siti yang mencoba menjelaskan riwayat kepemilikan tanah seringkali diinterupsi atau kesaksiannya dianggap tidak relevan oleh hakim. Bukti sertifikat tanah dan surat girik lama yang diajukan oleh keluarga Siti sebagai bukti kepemilikan yang sah diabaikan dengan alasan-alasan teknis yuridis formal yang sangat dicari-cari. Sebaliknya, kesaksian dari beberapa aparat desa bawahan kepala desa yang jelas-jelas memberikan keterangan palsu tentang batas tanah justru diterima begitu saja oleh hakim tanpa verifikasi lebih lanjut. Hasil akhir persidangan itu bisa ditebak: Siti dan keluarganya kalah telak. Mereka tidak hanya kehilangan sebagian besar tanah sumber penghidupan mereka satu-satunya, tapi juga terancam harus membayar ganti rugi biaya perkara dan 'kerugian imateriel' kepada kepala desa yang jumlahnya mustahil bisa mereka penuhi seumur hidup. Upaya banding mereka pun kandas di Pengadilan Tinggi dengan alasan serupa. Surat permohonan audiensi kepada Presiden ini adalah harapan terakhir mereka.
Napas Nisa tercekat setelah selesai membaca laporan itu. Kemarahan dingin yang membekukan mulai menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Ini bukan lagi sekadar kasus sengketa hukum biasa antarwarga. Ini adalah potret brutal dan telanjang tentang bagaimana hukum yang seharusnya menjadi perisai pelindung bagi yang lemah, hukum baru yang ia perjuangkan mati-matian dengan segala risiko politiknya, bisa dengan mudah dilumpuhkan, bahkan dipelintir menjadi senjata untuk menghancurkan korban, oleh kekuatan kekuasaan lokal yang korup dan sistem peradilan yang bobrok. Kemenangan hukum Siti di Pengadilan Agama beberapa bulan lalu seolah tak berarti apa-apa saat berhadapan dengan realitas pahit di Pengadilan Negeri yang ternyata bisa 'diatur' oleh uang dan pengaruh. UU Kesiapan Berkeluarga yang ia banggakan itu, ternyata tak lebih dari sekadar perisai kertas yang mudah sekali dirobek oleh taring-taring tajam ketidakadilan sistemik.
"Apakah Anton sudah tahu detail perkembangan kasus ini?" tanya Nisa pelan, suaranya terdengar datar menahan gejolak emosi di dadanya.