Istana FYP

Shabrina Farha Nisa
Chapter #10

Merancang Pedang Keadilan, Memilih Panglima Perang

Ruang Kerja Presiden, Istana Negara – Keesokan Paginya, Pukul 07.00 WIB

Udara pagi Jakarta yang biasanya sudah mulai terasa hangat oleh denyut aktivitas dan polusi terasa sejuk cenderung dingin di dalam Ruang Kerja Presiden. Pendingin ruangan bekerja senyap, namun tak mampu mendinginkan atmosfer ruangan yang sejak fajar menyingsing sudah terasa begitu intens, penuh antisipasi. Presiden Nisa Farha sudah duduk tegak di kursi kebesarannya sejak pukul setengah tujuh, matanya tak lepas dari layar tablet yang menampilkan kembali ringkasan data suram tentang kondisi peradilan nasional yang disiapkan Anton Prasetya semalam suntuk. Wajahnya tampak lelah setelah malam panjang penuh perenungan dan percakapan mendalam dengan Reza, namun sorot matanya kini memancarkan ketajaman dan tekad baja yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Keputusasaan telah berganti menjadi resolusi. Keraguan telah lenyap, digantikan oleh keyakinan akan sebuah perjuangan baru yang maha penting.

Kasus Siti Rahayu di Sulawesi. Kasus Dito Nugraha di Kalimantan. Nama-nama itu terus bergema di benaknya, menjadi representasi nyata dari angka-angka statistik dingin tentang indeks korupsi, tunggakan perkara, dan rendahnya kepercayaan publik. Ia tak bisa lagi menundanya. Fondasi negara hukum ini harus dibongkar pasang, dibangun ulang dari akarnya, betapapun besar risiko politik yang harus ia hadapi.

Tepat pukul tujuh pagi, satu per satu orang-orang kepercayaannya mulai memasuki ruangan, dipanggil Nisa untuk sebuah pertemuan yang ia sebut sebagai "Rapat Strategi Fundamental". Pertama masuk Anton Prasetya, Staf Khusus Bidang Sosial yang kini bebannya terasa bertambah berat, lingkaran hitam tipis masih terlihat di bawah matanya namun membawa setumpuk data baru yang lebih rinci dan beberapa draf analisis awal. Disusul Angel Marina, Kepala Komunikasi Istana yang selalu sigap, siap dengan buku catatan dan analisis media awal tentang bagaimana isu reformasi hukum ini berpotensi dimainkan di ruang publik. Kemudian Dr. Haryati Sulaeman, pakar hukum tata negara senior dari Sekretariat Negara yang wajahnya tampak serius namun menyiratkan kesiapan, integritas dan ketelitiannya sangat Nisa butuhkan untuk navigasi hukum yang rumit ini. Reza Satria, suaminya, hadir beberapa menit kemudian, kali ini bukan sebagai pengusaha atau suami semata, tapi sebagai partner diskusi strategis terdekat Nisa, pemberi perspektif dunia nyata dan suara hati nurani yang seringkali paling jujur. Dan terakhir, sosok yang paling ditunggu Nisa pagi itu, Profesor Budi Santoso, akademisi hukum pidana dari universitas terkemuka yang dikenal vokal, bersih, dan berani mengkritik mafia peradilan melalui tulisan-tulisannya di jurnal ilmiah maupun media massa. Nisa sengaja mengundangnya secara khusus, membutuhkan pemikiran reformis out-of-the-box dari luar lingkaran Istana.

Setelah semua duduk mengelilingi meja rapat bundar yang lebih kecil dari meja kabinet, memungkinkan diskusi yang lebih intens dan setara, Nisa membuka pertemuan tanpa basa-basi formalitas yang berlebihan. Ia tidak perlu lagi mengulang detail kasus Siti atau Dito; ia tahu semua yang hadir telah membaca laporan ringkas yang ia bagikan semalam dan memahami urgensi pertemuan pagi ini.

"Selamat pagi, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Terima kasih atas kehadirannya di pagi sepagi ini," suara Nisa terdengar tenang namun sarat oleh bobot keputusan yang telah ia ambil. "Kita semua tahu mengapa kita berkumpul di sini. Data kuantitatif dan laporan kualitatif dari lapangan, termasuk beberapa kasus tragis yang baru saja kita ketahui bersama, menunjukkan adanya masalah yang sangat fundamental dan sistemik dalam mesin penegakan hukum kita."

Ia berhenti sejenak, menatap satu per satu wajah di hadapannya. "Hukum yang kita rancang dengan susah payah di gedung parlemen untuk melindungi rakyat, ternyata bisa menjadi tumpul, bahkan bisa berbalik arah menjadi senjata yang menindas, jika mesin penegakannya sendiri rapuh, korup, dan mudah diintervensi."

"Saya tidak ingin lagi kita hanya melakukan perbaikan-perbaikan tambal sulam di sana-sini," lanjutnya tegas. "Mengganti satu dua oknum, memperbaiki satu dua prosedur. Itu tidak akan cukup. Saya ingin sebuah reformasi yang komprehensif, yang berani menyentuh akar masalahnya, meskipun itu berarti kita harus membongkar struktur yang sudah mapan dan melawan kekuatan-kekuatan besar yang selama ini nyaman di dalamnya."

Ia mencondongkan tubuhnya sedikit. "Hari ini, saya ingin kita bersama-sama, dengan pikiran terbuka dan keberanian, mulai merancang pedang keadilan itu. Pedang yang cukup tajam untuk membasmi penyakit korupsi dan penyalahgunaan wewenang di dalam tubuh penegakan hukum itu sendiri, sekaligus menjadi perisai yang cukup kokoh untuk melindungi hak-hak setiap warga negara, terutama mereka yang paling lemah dan paling rentan di hadapan hukum."

Nisa kemudian memberi isyarat pada Anton Prasetya untuk memulai sesi paparan data pendalaman. Anton maju ke depan layar besar, menampilkan data yang lebih rinci dari sekadar angka statistik umum yang kemarin ia tunjukkan pada Nisa. Ia menyoroti pola-pola yang lebih spesifik dan mengkhawatirkan.

"Data kami menunjukkan beberapa tren yang perlu menjadi perhatian serius kita semua, Bu Presiden, Bapak, Ibu," Anton memulai paparannya. "Pertama, adanya disparitas geografis yang sangat signifikan dalam kualitas penegakan hukum. Waktu penyelesaian perkara rata-rata dan indikasi terjadinya praktik korupsi peradilan (berdasarkan survei persepsi pengacara dan pencari keadilan) secara konsisten jauh lebih tinggi di pengadilan-pengadilan di luar Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah yang sumber daya anggarannya minim dan intensitas pengawasan dari pusat juga lemah."

Ia melanjutkan ke salindia berikutnya. "Kedua, dari analisis jenis kasus. Kami menemukan pola bahwa kasus-kasus sengketa pertanahan yang melibatkan korporasi besar atau pejabat daerah berpengaruh, kasus-kasus sengketa perburuhan antara pekerja melawan perusahaan besar, dan kasus-kasus kejahatan lingkungan seperti tambang ilegal atau pembalakan liar, seringkali berjalan sangat lambat di tingkat penyidikan maupun pengadilan, dan tidak jarang putusannya terasa janggal atau tidak mencerminkan rasa keadilan publik."

Ia menunjuk data ketiga. "Ketiga, ada indikasi kuat terjadinya pola intervensi nonhukum dalam penanganan kasus-kasus sensitif, baik yang bermotif politik maupun bisnis besar. Ini terlihat dari data mutasi mendadak jaksa atau hakim yang sedang menangani kasus korupsi besar tertentu, atau adanya laporan-laporan informal dari beberapa sumber internal yang kredibel tentang adanya tekanan atau 'pesanan' dari pihak-pihak tertentu untuk 'mengamankan' suatu perkara."

Anton juga menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan eksternal. "Secara regulasi, Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan yang ada saat ini memiliki keterbatasan yang signifikan dalam hal kewenangan investigasi mandiri. Rekomendasi sanksi yang mereka keluarkan seringkali bersifat tidak mengikat dan mudah diabaikan oleh pimpinan Mahkamah Agung atau Kejaksaan Agung. Ditambah lagi," Anton menambahkan dengan nada lebih pelan, "kami juga menangkap adanya dugaan resistensi internal yang cukup kuat dari oknum-oknum petinggi di MA dan Kejagung sendiri terhadap upaya pengawasan eksternal yang dianggap 'terlalu mencampuri' urusan rumah tangga mereka."

Paparan Anton yang dingin, metodis, dan berbasis data itu semakin menguatkan urgensi situasi di benak semua yang hadir. Dr. Haryati Sulaeman kemudian memberikan perspektif dari kacamata hukum formal dan konstitusi. "Secara konstitusional dan ketatanegaraan, kita memang harus melangkah dengan sangat hati-hati dalam agenda reformasi peradilan ini, Ibu Presiden," ujar Dr. Haryati dengan nada mengingatkan yang bijak. "Prinsip independensi kekuasaan kehakiman adalah pilar utama negara hukum kita yang harus kita jaga marwahnya. Setiap upaya reformasi tidak boleh diartikan atau dibingkai oleh lawan politik sebagai bentuk intervensi kekuasaan eksekutif terhadap ranah yudikatif."

Lihat selengkapnya