Jakarta (Istana Negara, Gedung Parlemen, Ruang Redaksi Media) – Beberapa Hari Setelah Rapat Strategi Reformasi Hukum (Sekitar Awal 2048)
Udara politik ibu kota, yang sempat terasa relatif tenang setelah badai isu "Percikan Berani" mereda beberapa waktu lalu, seketika kembali bergolak hebat. Pemicunya bukan lagi kebijakan ekonomi atau isu sosial yang abstrak, melainkan sebuah nama. Satu nama yang dilontarkan Istana Kepresidenan untuk mengisi salah satu jabatan paling strategis dan sensitif di republik ini: Jaksa Agung.
Setelah berhari-hari media massa dipenuhi spekulasi dan bisik-bisik tentang siapa yang akan menggantikan Jaksa Agung sebelumnya yang memasuki masa pensiun—dengan nama-nama 'aman' dari internal Kejaksaan atau politisi senior partai koalisi mendominasi bursa calon—Istana akhirnya memecah keheningan. Melalui konferensi pers yang digelar mendadak namun dipersiapkan dengan matang oleh tim Angel Marina, Juru Bicara Kepresidenan Adam Ismail secara resmi mengumumkan nama calon tunggal yang diajukan oleh Presiden Nisa Farha kepada Dewan Perwakilan Rakyat: Ratna Dewi.
Adam Ismail, dengan ketenangannya yang khas, membacakan pernyataan resmi Istana dengan hati-hati, membingkai pencalonan ini bukan sebagai kejutan politis, melainkan sebagai langkah logis dan strategis. "Pencalonan Ibu Ratna Dewi," kata Adam di hadapan puluhan wartawan yang seketika riuh rendah oleh pertanyaan dan kilatan kamera, "adalah wujud komitmen tegas Presiden Nisa Farha untuk melaksanakan amanat reformasi hukum dan peradilan yang menyeluruh, sebagaimana telah berulang kali beliau sampaikan kepada publik."
Adam menekankan rekam jejak Ratna Dewi yang bersih dan tak terbantahkan selama berkarir sebagai jaksa fungsional hingga mencapai puncak karirnya sebagai Direktur Penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menyoroti independensi Ratna Dewi dari afiliasi politik manapun, ketegasannya dalam menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap tanpa pandang bulu, dan integritas pribadinya yang diakui luas oleh kalangan aktivis antikorupsi dan akademisi hukum. "Presiden meyakini," tutup Adam, "bahwa Ibu Ratna Dewi adalah figur profesional yang paling tepat saat ini untuk memimpin institusi Kejaksaan Agung dalam mengemban amanat reformasi, menegakkan supremasi hukum tanpa kompromi, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga penuntutan di negeri ini."
Pengumuman itu, meskipun disampaikan dengan nada terukur dan rasional oleh Adam Ismail, seketika memicu gempa politik berskala tinggi di seluruh penjuru ibu kota. Reaksi pertama yang paling keras dan paling vokal, seperti yang sudah diduga oleh tim Istana, datang dari kubu oposisi utama.
Pak Hardiman, yang seolah mendapatkan kembali panggung politiknya setelah sempat meredup pascakegagalan Pansus "Percikan Berani", langsung menggelar konferensi pers tandingan hanya beberapa jam setelah pengumuman Istana. "Ini lelucon macam apa?!" seru Hardiman di depan kerumunan wartawan yang memadati ruang fraksi partainya di Gedung DPR. Wajahnya memerah padam menahan amarah yang meledak-ledak. "Mencalonkan seorang mantan penyidik KPK yang kita semua tahu rekam jejaknya penuh kontroversi dan cenderung tebang pilih kasus sebagai Jaksa Agung? Seorang 'aktivis hukum' yang tidak punya pengalaman memimpin institusi sebesar dan sekompleks Kejaksaan Agung? Ini jelas bukan pilihan profesional! Ini adalah pilihan politis murni dari Presiden Nisa Farha!"
Ia menunjuk-nunjuk ke arah kamera. "Presiden jelas ingin menempatkan 'orang keras'-nya sendiri di Kejaksaan untuk mengontrol penuh proses hukum di negeri ini! Untuk mengejar target-target politiknya! Mungkin untuk membungkam lawan-lawan politiknya atau bahkan melindungi lingkaran kekuasaannya sendiri! Ini sangat berbahaya bagi demokrasi dan independensi hukum kita!" Hardiman dengan tegas menyatakan bahwa fraksinya akan menolak mentah-mentah pencalonan Ratna Dewi dalam uji kelayakan di Komisi III DPR nanti. Narasi penolakan itu segera diamplifikasi secara masif oleh portal-portal berita dan akun-akun media sosial yang terafiliasi dengan jaringan oposisi.
Gelombang resistensi tidak hanya datang dari luar Istana. Di dalam gedung bundar Kejaksaan Agung di kawasan Blok M yang biasanya tampak tenang, suasana seketika berubah menjadi penuh kegelisahan dan keraguan. Para jaksa senior dan pejabat eselon I dan II yang selama ini merasa nyaman dalam struktur kekuasaan dan jenjang karir yang mapan, kini merasa terusik oleh prospek kedatangan seorang 'orang luar' yang dikenal sangat lurus, sangat tegas, dan kemungkinan besar akan melakukan perombakan besar-besaran di tubuh institusi mereka. Bisik-bisik dan rumor negatif tentang Ratna Dewi mulai menyebar cepat secara anonim melalui grup-grup percakapan internal atau pesan berantai.
"Dia itu kan orangnya kaku banget, mana bisa memimpin korps Adhyaksa yang butuh keluwesan?" bunyi salah satu pesan. "Pengalamannya cuma di penyidikan korupsi, apa dia paham seluk-beluk penuntutan pidana umum atau perdata tata usaha negara?" tanya yang lain dengan nada meragukan. "Dengar-dengar dulu di KPK dia juga sulit diajak kerja sama sama lembaga lain, cenderung merasa paling benar sendiri," tambah rumor lain yang jelas bertujuan membangun citra negatif Ratna Dewi sebagai sosok yang arogan dan tidak kolaboratif. Beberapa jaksa senior yang merasa terancam posisinya bahkan dikabarkan mulai melakukan lobi-lobi senyap ke Komisi III DPR untuk menggagalkan pencalonan Ratna Dewi.