Jakarta dan Berbagai Lokasi Tersembunyi – Minggu-minggu Menjelang Uji Kelayakan Ratna Dewi di DPR (Sekitar Pertengahan 2048)
Hari-hari menjelang jadwal Uji Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) Ratna Dewi di Komisi III DPR RI terasa seperti berjalan di atas bara api bagi semua pihak yang terlibat. Gempa politik awal yang dipicu oleh pengumuman pencalonannya kini telah bertransformasi menjadi sebuah perang urat saraf yang brutal, dimainkan di berbagai arena—mulai dari kolom-kolom opini media massa hingga sudut-sudut gelap dunia maya, dari lobi-lobi senyap di koridor kekuasaan hingga aksi-aksi intimidasi personal yang semakin terang-terangan. Tujuannya jelas: menggagalkan pencalonan Ratna Dewi dengan cara apapun, sebelum ia sempat duduk di kursi Jaksa Agung dan mulai membongkar borok yang selama ini tertutup rapat.
Di garda depan perang opini publik, media-media yang terafiliasi dengan jaringan oposisi politik melancarkan serangan yang semakin gencar dan sistematis terhadap Ratna Dewi. Mereka seolah berlomba-lomba 'membongkar' kembali kasus-kasus lama yang pernah ditangani Ratna Dewi saat masih menjabat sebagai Direktur Penyidikan di KPK bertahun-tahun silam. Namun, pembongkaran itu dilakukan dengan pembingkaian narasi yang sangat negatif dan tendensius.
Sebuah kasus korupsi besar yang berhasil dibongkar Ratna di masa lalu, kini ditulis ulang seolah-olah ada unsur 'tebang pilih' dalam penanganannya, menuduh Ratna hanya mengejar target-target tertentu sambil melindungi pihak lain yang seharusnya juga ikut terseret. Sebuah kebocoran informasi rahasia penyidikan yang pernah terjadi di KPK beberapa tahun silam, kini kembali diungkit dan secara implisit dituduhkan sebagai 'kesalahan' atau 'kecerobohan' Ratna Dewi, meskipun tidak pernah ada bukti keterlibatannya. Sikapnya yang dikenal lurus, tegas, dan tidak kenal kompromi dalam bekerja, kini dibingkai ulang sebagai bukti bahwa ia adalah sosok yang 'kaku', 'sulit diajak kerja sama', 'merasa paling benar sendiri', dan 'tidak kompeten secara manajerial' untuk memimpin institusi sebesar Kejaksaan Agung yang membutuhkan keluwesan dan diplomasi. Setiap detail kecil dari masa lalunya seolah dikuliti habis, dipelintir sedemikian rupa untuk membangun persepsi publik dan keraguan di benak para anggota dewan bahwa Ratna Dewi adalah sosok yang bermasalah, kontroversial, dan tidak layak memimpin.
Serangan tidak hanya berhenti di ranah opini publik yang abstrak. Ratna Dewi sendiri mulai merasakan intimidasi secara langsung dan personal dalam beberapa hari terakhir. Ponsel pribadinya mulai sering menerima pesan-pesan singkat anonim berisi ancaman terselubung atau kata-kata kasar yang mencoba menerornya secara psikologis. Beberapa kali ia menerima panggilan telepon di malam hari dari nomor tak dikenal yang hanya berisi suara desahan atau tawa mengejek sebelum sambungan diputus. Suatu pagi, ia menemukan keempat ban mobil pribadinya kempes secara misterius di pelataran parkir apartemennya, jelas sebuah bentuk sabotase kecil namun mengirimkan pesan ancaman yang nyata. Beberapa kolega lamanya di KPK atau Kejaksaan yang dulu dekat dengannya, kini tiba-tiba tampak menjaga jarak, enggan membalas pesannya, atau bahkan secara halus menolak bertemu saat ia mencoba menghubungi untuk sekadar berdiskusi atau meminta dukungan moral. Ia tahu, jaring-jaring kekuasaan yang merasa terancam oleh pencalonannya sedang bergerak aktif untuk mengisolasinya, membuatnya merasa sendirian dan terpojok.
Ratna melaporkan semua insiden intimidasi ini secara ringkas kepada Presiden Nisa dalam sebuah pertemuan rahasia lanjutan mereka. Nisa, yang wajahnya langsung mengeras menahan amarah mendengar laporan itu, seketika menawarkan untuk menggandakan jumlah pengawalan Paspampres yang melekat pada Ratna Dewi dan meminta tim siber Istana melacak nomor-nomor telepon atau akun anonim yang mengirim ancaman.
Namun, Ratna Dewi menolak tawaran itu dengan halus namun tegas. "Terima kasih banyak atas perhatiannya, Ibu Presiden," kata Ratna Dewi tenang, sorot matanya tetap setajam biasanya. "Tapi saya rasa pengawalan tambahan justru akan semakin menarik perhatian publik yang tidak perlu dan bisa dipelintir lagi oleh lawan sebagai bentuk perlakuan istimewa. Saya sudah terbiasa menghadapi tekanan seperti ini sejak lama." Ia tersenyum tipis, senyum yang sama seperti saat ia meyakinkan Nisa dalam pertemuan pertama mereka. "Tekanan dan ancaman seperti ini sudah menjadi menu sarapan pagi saya sehari-hari dulu di KPK, Bu," ujarnya, ada nada ironi getir dalam suaranya. "Fokus saya saat ini hanya satu: mempersiapkan diri sebaik mungkin secara substansi untuk menghadapi uji kelayakan di DPR nanti. Biarkan mereka bermain dengan cara kotor mereka. Saya akan hadapi mereka dengan fakta, data, dan integritas." Nisa hanya bisa mengangguk kagum bercampur khawatir melihat keteguhan hati baja perempuan di hadapannya itu.
Tekanan hebat juga terus mengalir deras ke arah Nisa Farha sendiri. Para pimpinan partai koalisi pendukung pemerintahannya semakin gencar melakukan lobi-lobi intensif di belakang layar, mencoba meyakinkan Nisa untuk mempertimbangkan ulang pencalonan Ratna Dewi yang mereka anggap terlalu 'berisiko tinggi' dan bisa mengganggu stabilitas politik koalisi menjelang tahun politik yang semakin dekat.
"Situasinya benar-benar tidak kondusif, Bu Presiden," ujar Pak Suryo, sang ketua umum partai koalisi besar, dalam sebuah percakapan telepon yang terdengar semakin mendesak. "Resistensi dari fraksi-fraksi lain di DPR sangat kuat terhadap nama Ibu Ratna. Bahkan di internal koalisi kita sendiri pun suara masih terbelah. Saya khawatir kita tidak akan punya cukup suara untuk meloloskan beliau di Komisi III nanti jika kita paksakan terus." Ia berhenti sejenak. "Saya mohon sekali lagi, Bu Presiden, pertimbangkanlah 'opsi lain'. Ada beberapa nama jaksa karir senior dari internal Kejaksaan yang juga punya reputasi cukup baik dan mungkin akan jauh lebih mudah diterima oleh semua pihak. Demi menjaga keutuhan koalisi dan stabilitas politik kita bersama."