Ruang Rapat Komisi III DPR RI dan Sebuah Hotel Mewah, Jakarta – Hari Uji Kelayakan dan Kepatutan Ratna Dewi (Sekitar Pertengahan 2048)
Udara di dalam Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, terasa begitu tebal oleh ketegangan hingga nyaris bisa dipotong dengan pisau. Setiap kursi di ruangan itu terisi penuh. Para anggota dewan yang membidangi hukum dan hak asasi manusia duduk melingkar menghadap meja pimpinan komisi dan satu kursi kosong di tengah yang akan segera diisi oleh sang calon Jaksa Agung, Ratna Dewi. Balkon di lantai atas penuh sesak oleh staf ahli, tamu undangan khusus dari lembaga hukum lain, dan barisan wartawan yang berebut posisi terbaik untuk meliput acara yang sudah diprediksi akan menjadi salah satu uji kelayakan dan kepatutan paling panas dan paling menentukan dalam sejarah parlemen modern Indonesia. Di luar gedung, beberapa kelompok mahasiswa pendukung Ratna Dewi menggelar aksi damai, spanduk-spanduk bertuliskan #SayaDukungRatnaDewi dan #LawanMafiaPeradilan berkibar, menambah panas suhu politik hari itu.
Di Situation Room Istana Negara, suasana tak kalah tegangnya. Presiden Nisa Farha, Reza Satria, Anton Prasetya, dan Angel Marina duduk terpaku menatap layar monitor besar yang menayangkan siaran langsung dari ruang rapat Komisi III. Secangkir teh melati Nisa kembali dibiarkan mendingin tak tersentuh. Mereka semua tahu, hari ini adalah pertaruhan besar. Bukan hanya nasib Ratna Dewi yang ditentukan, tapi juga masa depan seluruh agenda reformasi hukum yang menjadi pertaruhan terakhir Nisa di sisa masa jabatannya.
Tepat pukul sepuluh pagi, pintu utama ruang rapat Komisi III terbuka. Ratna Dewi melangkah masuk, didampingi beberapa staf dari Sekretariat Negara. Penampilannya hari itu tampak profesional dan berwibawa—mengenakan setelan blazer berwarna abu-abu tua yang pas di badan, blus putih bersih, rambut hitamnya disanggul rapi ke belakang, hanya menyisakan sedikit helai yang membingkai wajahnya yang tampak tenang namun memancarkan ketegasan. Langkahnya mantap saat ia berjalan menuju kursi panas di tengah ruangan, memberikan anggukan hormat singkat pada pimpinan dan anggota komisi, lalu duduk dengan punggung tegak, siap menghadapi rentetan pertanyaan yang ia tahu akan datang seperti peluru. Tak ada sedikit pun jejak gentar atau keraguan terlihat di wajahnya, meskipun ia pasti sadar puluhan pasang mata di ruangan itu sedang menilainya dengan tatapan kritis, sebagian bahkan mungkin dengan niat menjatuhkan.
Uji kelayakan dimulai dengan pembacaan tata tertib oleh pimpinan komisi, lalu dilanjutkan dengan pemaparan singkat visi misi oleh Ratna Dewi. Ratna menyampaikan visinya untuk Kejaksaan Agung dengan suara yang jelas, tenang, dan terstruktur: mewujudkan lembaga penuntutan yang bersih dari korupsi, profesional dalam bekerja berdasarkan bukti hukum, berintegritas tinggi dalam setiap tindakan, independen dari intervensi politik manapun, dan berorientasi pada pelayanan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama yang lemah dan terpinggirkan. Pemaparannya lugas, tanpa basa-basi, langsung ke jantung persoalan.
Namun, suasana tenang itu tak bertahan lama. Begitu sesi tanya jawab dibuka, Pak Hardiman langsung menyambar kesempatan pertama. Politisi senior dari fraksi oposisi itu langsung melancarkan serangan frontal, mengabaikan substansi visi misi yang baru saja dipaparkan Ratna Dewi.
"Saudari Calon Jaksa Agung," Hardiman memulai dengan nada merendahkan, sengaja tidak menggunakan sapaan 'Ibu', "Setelah mendengar paparan indah penuh cita-cita muluk tadi, saya justru semakin ragu akan kompetensi Anda untuk memimpin institusi sebesar Kejaksaan Agung!" Ia membuka beberapa lembar kertas berisi catatan serangan yang telah ia siapkan. "Rekam jejak Anda di KPK dulu, terus terang saja, penuh kontroversi! Bukankah Anda dulu sering dituduh terlalu kaku, sulit diajak kerja sama dengan lembaga lain, bahkan ada isu Anda sering membocorkan informasi penyidikan secara selektif untuk menjatuhkan target tertentu? Bagaimana kami bisa percaya Anda akan mampu memimpin Korps Adhyaksa yang membutuhkan keluwesan, sinergi, dan kepemimpinan yang mengayomi, bukan sekadar penegak hukum yang kaku dan merasa paling benar sendiri seperti dulu?"
Seluruh mata kini tertuju pada Ratna Dewi, menunggu reaksinya atas serangan personal pertama yang begitu tajam itu. Ratna Dewi menarik napas pelan, meraih mikrofon di depannya dengan gerakan tenang. "Terima kasih atas pertanyaannya, Bapak Anggota Dewan yang terhormat," jawab Ratna Dewi, suaranya tetap datar dan profesional, sama sekali tidak terpancing emosi. "Mengenai rekam jejak saya di KPK, saya persilakan Bapak dan seluruh anggota komisi untuk memeriksa kembali semua fakta dan data yang ada secara objektif, bukan hanya berdasarkan rumor atau pemberitaan media yang mungkin bias."
Ia melanjutkan, "Setiap kasus yang saya tangani dulu selalu berdasarkan pada kecukupan alat bukti hukum yang kuat, bukan atas dasar suka atau tidak suka, apalagi pesanan politik. Prinsip integritas dan profesionalisme selalu menjadi pegangan utama saya dalam bekerja. Jika sikap tegas saya dalam menegakkan hukum tanpa kompromi itu kemudian dianggap sebagai 'kaku' atau 'sulit diajak kerja sama' oleh pihak-pihak yang mungkin merasa terusik kepentingannya, saya tidak bisa menghalangi persepsi tersebut." Ia menatap lurus ke arah Hardiman. "Namun saya percaya, institusi Kejaksaan Agung saat ini justru membutuhkan pemimpin yang memiliki ketegasan prinsip itu, agar bisa benar-benar bersih dari intervensi dan kembali dipercaya oleh publik."
Jawaban Ratna Dewi yang lugas, tenang, dan menohok itu membuat Hardiman tampak sedikit kesal karena gagal memancing emosinya. Namun, serangan dari anggota oposisi lainnya terus berlanjut. Mereka mempertanyakan visi reformasinya yang dianggap terlalu utopis dan tidak realistis untuk diterapkan dalam kultur Kejaksaan yang sudah mapan. Mereka mengorek-ngorek isu personal yang tidak relevan. Mereka mencoba menjebaknya dengan pertanyaan-pertanyaan hukum teknis yang rumit, berharap menemukan celah dalam pemahamannya.
Namun, Ratna Dewi menjawab semua pertanyaan itu dengan penguasaan materi yang luar biasa. Ia memaparkan kembali rencana reformasi tiga pilarnya dengan detail yang lebih terukur, memberikan contoh-contoh konkret bagaimana ia akan memperbaiki sistem rekrutmen, memperkuat pengawasan internal, dan meningkatkan kualitas penuntutan. Ia menjawab pertanyaan hukum teknis dengan referensi pasal dan teori hukum yang akurat. Ia menangkis serangan personal dengan elegan, mengembalikan fokus diskusi pada substansi visi dan misinya. Di Situation Room Istana, Nisa dan Reza saling pandang, senyum lega dan kagum terukir samar di wajah mereka melihat ketangguhan Ratna Dewi di bawah tekanan hebat itu.