Kejaksaan Agung RI, Istana Negara, Jakarta dan Wina, Austria – Beberapa Minggu Setelah Persetujuan DPR hingga Tiga Tahun Kemudian (Akhir 2048 - Awal 2051)
Pelantikan Ratna Dewi sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia oleh Presiden Nisa Farha di Istana Negara berlangsung khidmat, namun tak bisa menyembunyikan lapisan ketegangan halus yang menyelimuti acara protokoler kenegaraan itu. Sorotan kamera media begitu intens, bisik-bisik di antara tamu undangan terdengar lebih jelas dari biasanya. Semua mata seolah tertuju pada sosok perempuan berpenampilan sederhana namun berintegritas baja itu, yang kini resmi memegang salah satu jabatan paling berkuasa sekaligus paling berbahaya di republik ini. Ratna Dewi sendiri berdiri tegak mengucapkan sumpah jabatannya, suaranya mantap dan jelas, matanya menatap lurus ke depan, menyadari sepenuhnya bahwa tepuk tangan meriah dan ucapan selamat hari ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan sunyi di tengah medan perang yang sesungguhnya.
Hari pertama Ratna Dewi memasuki kompleks Kejaksaan Agung yang megah dan sedikit angker di kawasan Blok M disambut oleh atmosfer yang campur aduk. Di satu sisi, ada secercah harapan baru yang terpancar dari mata para jaksa muda idealis atau jaksa-jaksa fungsional senior yang selama ini merasa terpinggirkan karena menolak 'bermain mata'. Mereka melihat kedatangan Ratna Dewi sebagai angin segar perubahan, sebagai momentum untuk membersihkan institusi yang mereka cintai dari praktik korupsi dan kolusi yang telah lama menggerogoti. Namun di sisi lain, terutama di kalangan pejabat eselon menengah ke atas yang selama ini menikmati zona nyaman kekuasaan dan jejaring patronase yang mapan, tatapan mata yang menyambut Jaksa Agung baru itu lebih banyak diwarnai oleh kewaspadaan, kecurigaan, bahkan mungkin permusuhan halus yang tersembunyi di balik senyum formalitas. Mereka tahu, era 'main aman' mungkin akan segera berakhir.
Dalam apel pagi pertamanya di hadapan seluruh jajaran pejabat struktural dan fungsional utama Kejaksaan Agung, Ratna Dewi tidak banyak berbasa-basi atau mencoba mengambil hati dengan janji-janji manis. Pidato internal perdananya singkat, lugas, namun sangat tegas dan langsung menusuk ke jantung persoalan. Ia memaparkan visinya secara jelas: mewujudkan institusi Kejaksaan Agung yang benar-benar bersih dari korupsi, profesional dalam bekerja berdasarkan alat bukti hukum, berintegritas tinggi dalam setiap perkataan dan tindakan, serta berorientasi penuh pada pelayanan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
"Saya tidak akan mentolerir sedikit pun praktik korupsi, kolusi, nepotisme, atau bentuk penyalahgunaan wewenang sekecil apapun di dalam tubuh institusi ini," tegas Ratna Dewi, suaranya yang tenang namun berwibawa menggema di aula utama Kejagung. "Integritas adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi Bapak dan Ibu yang masih memiliki komitmen yang sama untuk menegakkan hukum secara lurus dan profesional, pintu ruangan saya akan selalu terbuka untuk berdiskusi dan bekerja sama membangun institusi ini menjadi lebih baik." Ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah barisan pejabat di hadapannya. "Namun, bagi siapapun yang merasa tidak sejalan dengan visi reformasi ini, bagi siapapun yang masih merasa nyaman dengan praktik-praktik lama yang tidak benar, saya persilakan dengan hormat untuk segera mempertimbangkan kembali posisi Anda. Pintu keluar dari institusi ini juga terbuka lebar bagi Anda yang memilih jalan lain."
Pidato singkat yang dingin namun penuh makna itu mengirimkan getaran kuat ke seluruh penjuru korps Adhyaksa. Langkah konkret segera menyusul pidato tegas itu. Dalam beberapa minggu pertama masa jabatannya, Ratna Dewi langsung melakukan perombakan besar-besaran pada posisi-posisi strategis di internal Kejaksaan Agung. Ia menunjuk beberapa jaksa karir yang dikenal bersih, berani, dan memiliki rekam jejak profesional yang baik untuk mengisi jabatan-jabatan kunci seperti Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (JAM Was). Ia juga membawa beberapa staf ahli dan penasihat khusus dari luar institusi—mantan kolega terpercayanya di KPK atau akademisi hukum independen—untuk membantunya merancang dan mengawal program reformasi internal secara lebih cepat dan objektif.
Langkah-langkah 'pembersihan' awal ini, seperti yang sudah diduga, langsung memicu gesekan dan resistensi halus dari dalam. Aliran data atau laporan penting dari beberapa direktorat tiba-tiba menjadi sangat lambat sampai ke meja Jaksa Agung. Rapat-rapat koordinasi internal seringkali berjalan alot, dipenuhi perdebatan teknis prosedural yang seolah sengaja dibuat untuk menghambat pengambilan keputusan. Beberapa berkas perkara korupsi lama yang coba dibuka kembali oleh tim JAM Pidsus baru tiba-tiba dilaporkan 'terselip' atau 'sulit ditemukan' di gudang arsip.
Namun, Ratna Dewi melawan semua bentuk resistensi pasif itu dengan gaya kepemimpinannya yang khas: detail, tegas, dan tanpa kompromi. Ia menetapkan tenggat waktu yang sangat ketat untuk setiap permintaan data atau laporan, lengkap dengan konsekuensi administratif bagi pejabat yang lalai. Ia tak segan memanggil langsung pejabat eselon yang dianggap menghambat proses dan menegurnya secara terbuka namun profesional di forum rapat pimpinan. Ia juga segera memerintahkan implementasi sistem pelaporan kinerja dan penanganan perkara berbasis teknologi informasi yang lebih transparan dan akuntabel, meminimalkan ruang bagi manipulasi atau permainan di belakang layar. Secara perlahan namun pasti, pesan itu mulai sampai ke seluruh jajaran korps Adhyaksa: era baru telah tiba, dan tidak ada lagi tempat untuk bermain-main dengan hukum.
Di saat yang sama, Satgas Saber Peradilan, yang kini mendapat dukungan penuh dan perlindungan politik dari Jaksa Agung Ratna Dewi dan Presiden Nisa Farha, bergerak semakin agresif dalam membongkar jaringan mafia peradilan. Kasus OTT Hakim Tinggi AS dijadikan prioritas utama untuk segera dibawa ke pengadilan. Ratna Dewi menunjuk langsung tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pilihan yang terdiri dari jaksa-jaksa muda berintegritas dan berani untuk menangani kasus ini, memastikan tidak ada intervensi atau upaya 'pengamanan' kasus dari dalam. Pengembangan kasus dari OTT Hakim Tinggi AS itu pun berjalan cepat. Dalam beberapa bulan berikutnya, Satgas kembali melakukan beberapa penangkapan penting yang semakin mengguncang dunia peradilan: seorang jaksa senior di Kejaksaan Tinggi yang diduga berperan sebagai makelar kasus untuk beberapa perkara tanah besar, dan seorang pengacara papan atas yang selama ini dikenal 'licin' dan diduga sering menjadi perantara suap antara klien korporatnya dengan oknum hakim atau jaksa. Rentetan penangkapan ini mengirimkan sinyal yang sangat kuat ke seluruh penjuru negeri bahwa era impunitas bagi para mafia hukum benar-benar akan segera berakhir.
Tentu saja, perlawanan balik dari pihak-pihak yang merasa terusik oleh gebrakan Ratna Dewi dan Satgas Saber Peradilan juga tak kalah sengitnya. Para tersangka kasus OTT—Hakim Tinggi AS, jaksa senior, pengacara papan atas—menyewa tim kuasa hukum terbaik dan paling mahal untuk melawan di pengadilan. Mereka mengajukan gugatan praperadilan, mempersoalkan keabsahan alat bukti yang digunakan Satgas, mencoba membangun opini publik bahwa mereka adalah korban kriminalisasi atau persaingan tidak sehat antar lembaga penegak hukum. Media-media yang terafiliasi dengan jaringan oposisi politik terus menerus 'menggoreng' isu tentang 'cacat prosedur' dalam operasi Satgas, membingkai Ratna Dewi sebagai sosok Jaksa Agung yang represif dan haus kekuasaan, serta menciptakan narasi seolah sedang terjadi 'perang bintang' antar lembaga (KPK vs Kejaksaan vs Kepolisian) yang hanya merugikan stabilitas nasional.
Di DPR, Pak Hardiman dan kawan-kawannya kembali memanfaatkan fungsi pengawasan mereka untuk menekan. Mereka menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dadakan dengan Jaksa Agung Ratna Dewi dan pimpinan Satgas Saber Peradilan, mencecar mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan tentang metode kerja Satgas, mempertanyakan dasar hukum pembentukan Satgas, bahkan mencoba menghambat alokasi anggaran untuk program reformasi Kejaksaan Agung.