ISTANA HANTU

Dudun Parwanto
Chapter #1

TAWARAN DARI KAWAN

Namaku Shitok Subejo, Boleh panggil Sihtok atau Bejo. Terserah yang penting aku noleh. Shitoj dari bahasa Jawa artinya satu, jadi aku ini anak satu satunya. Su dari bahasa Jawa artinya baik dan Bejo bahasa Jawa juga yang artinya beruntung. Simbok memberiku nama Sithok Subejo agar  aku menjadi anak satu satunya yang baik dan selalu mujur. Aku lahir dari orangtua yang sederhana, tak enak hati kalau dibilang miskin. “Biarlah kita miskin harta, tapi jangan miskin iman,” kata almarhum Bapakku yang sudah pulang duluan ke rumah Tuhan.

Sejak bapak meninggal, simbok bekerja menjadi seorang penjahit, bukan penjahat ya heheh. Aku bisa masuk kuliah berkat jasa Simbok. Tapi sejak kuliah juga aku sudah niat ingin meringankan beban simbok. Apa saja aku kerjakan agar bisa kuliah biaya sendiri, apalagi aku di Semarang tinggal di rumah kos, biayanya nggak sedikit. Untung aku bisa nulis, jadi bisa dapat tambahan dengan nulis arikel. Lumayan dapat honor, kalau dimuat di Koran-koran.  Tapi banyak kok mahasiswa perantau yang sudah bisa nyari duit tambahan.

Lantunan lembut suara emas Chrisye di radio menemaniku membaca buku, di malam menjelang Isya berkumandang. Keheninganku membaca novel Misteri Gunung Merapi tiba-tiba pecah, ketika suara serak basah yang kukenal memanggil namaku dari luar kamar.

“Thok…Sithok “ katanya mengetok pintu.

Tanpa permisi Bedu, teman kosku, membuka pintu, masuk kemudian duduk, lalu menutup pintu agak keras. Wajahnya sedikit pucat, seperti baru melihat hantu. Pemuda berperawakan sedang itu mengadu permasalahannya dengan ibu kos. Pasalnya bayaran kosnya dianggap ibu kos kurang karena belum lama ini, Bedu membeli laptop second untuk menyelesaikan skripsinya. Dia berdalih laptopnya irit listrik dan tidak bisa disamakan dengan komputer biasa. Namun di mata bu Gayatri, sang pemilik kos,  kedua barang elektronik tersebut sama saja. Aku diam mendengarkan Bedu mengeluarkan unek-uneknya. Namun aku diam, konsentrasiku pecah antara membaca buku dengan keluh kesahnya. Aku tahu, laki-laki asal Jepara itu ingin aku membantunya melakukan negosiasi dengan pemilik kos.

Udah bayar saja, nanti kalau bulan depan tagihan listrik naik lagi, baru aku bantu ngomong bu kos,” kataku sambil terus memandangi isi buku.

Bedu terlihat tidak puas dengan jawabanku, ia membuka pintu dan keluar kamar. Ah aku sudah hafal sifat Badu, besok juga dia sudah normal kembali.

Baru sebulan, aku menempati rumah kos milik janda pensiunan tentara di daerah Jatinegara, Semarang Tengah. Perempuan tua itu di mata teman-teman kos dianggap sebagai sosok yang “bawel” dan terlalu banyak aturan. Meski demikian, aku tidak menanggainya dengan serius. Selama ini sikap ibu kos padaku cukup baik, kadang malah kuanggap terlalu berlebihan. Wanita yang suka mengenakan kebaya itu sering menyuruh mbok Yem, pembantunya, membawakan makanan untukku. Paling tidak dua hari sekali, pasti ada saja makanan kecil seperti pisang goring, kacang rebus atau kue ringan di mejaku. Setiap pintu di samping kamar kos disediakan meja untuk menaruh makanan. Pernah kuminta mbok Yem supaya tidak mengirim makanan, tapi dia takut dimarahi majikannya.

Pintu kos kami terpisah dengan tuan rumah. Ada enam kamar kos yang disewakan disamping rumah utama. Menurut cerita Bedu yang sudah setahun kos disitu, tak ada satu pun penghuni kos yang bertahan lama. Hanya Rusli yang paling betah hampir tiga tahun, mahasiswa S-2 hukum termasuk penghuni kawakan di kamar sewa itu.

Menurut Rusli, dulu ada anak kos, bernama Agus yang pernah diusir bu Gayatri, gara-gara membawa pacarnya ke dalam kamar. Semenjak itu ibu kos membuat aturan kayak celana legging, super ketat. Anak-anak kos segan tidak ada yang berani melanggar aturan. Disamping itu, ibu kos sering cerita tentang anak pertamanya yang lulusan Akabri dan sekarang sedang dinas di Kodam Bukit Barisan. Hal itu makin menambah ciut nyali penghuni kos jika akan berbuat macam-macam.

Teman-teman kuliahku yang pernah mampir pun menyebut kos-anku sebagai rumah kos ribet karena terlalu banyak aturan. Sebenarnya kejanggalan itu sudah dirasakan para penghuni kos. Misalnya, di setiap dinding kamar kos ditempel aturan anak kos yang diketik rapi dan dilaminating. Ada empat belas nomor, mulai dilarang memaku ruang kamar, menerima tamu wanita di dalam kamar sampai dengan menyalakan volume teve tidak boleh terlalu keras. Yang paling menyesakkan tentu saja adanya tarif tambahan biaya listrik, diluar sewa kamar yang perbulan sebesar Rp 800 ribu. Misalnya jika ada mahasiswa yang membawa computer, maka harus membayar tambahan biaya Rp 150 ribu, televisi Rp 100 ribu, radio Rp 75 ribu dan kipas angin Rp 50 ribu. Mencuci pakaian pun dibatasi maksimal dua pasang sehari dan sebagainya. Yang paling nggilani, mandi saja dibatasi maksimal 10 gayung per orang. Siapa yang ngawasi, ternyata mbok Yem suka mencatat jumlah gayung yang mengguyir dari luar kamar mandi.

***

                                                                                          

Matahari bersinar cerah di atas udara kota Semarang yang hangat. Seorang gadis tinggi semampai masuk ke halaman rumah kos. Melihat caranya membuka pagar sepertinya dia bukan orang asing. Aku mengelap motor ketika wanita berbusana modis itu mengetok pintu rumah. Penampilannya seperti artis ibukota. Rusli yang berada di sampingku memelototinya tanpa berkedip.  

“Itu Sandra, cantik kan,“ bisiknya lirih.

Aku mengangguk.

Oh ternyata itu anak gadis yang sering diceritakan bu Gayatri. Dia baru tiba dari Jakarta. Wanita muda itu tampak cuek, bahkan terkesan angkuh. Tak lama kemudian ia masuk, setelah mbok Yem membukakan pintu.

“Tapi kalau aku lebih tertarik sama kakaknya, Dia lebih kalem, lebih nJawani, kuliahnya bergengsi pula di UGM,” lanjutnya

“Jadi itu yang membuat abang bertahan disini? ”sentilku.

Rusli seperti kena skak mat, dia nggak bisa berkutik, tapi mahasiswa S-2 itu berusaha ngeles.

“Ya nggak juga, habis di sini dekat dengan kampus tinggal jalan kaki aja nyampe,”

Tapi menurutku sih tempat kos di sini agak jauh dari kampus, dengan berjalan kaki memerlukan waktu dua puluh menit. Kalau kos yang dekat dengan kampus kurasa masih banyak yang lain. Tapi biarlah aku tak mau berdebat, males banget. Hari ini aku akan ke kampus menemui Sithok. Dia sms, ingin bertemu denganku siang ini. Biasanya kalau gak penting-penting amat Sithok orangnya malas bertemu. Dia mah begitu.

***

Sithok adalah kawan dekatku di kampus. Meski badannya kecil mungil , tapi aktifnya bukan main. Saking lincahnya dia kayak beut dan ikut banyak organisasi. Saat ini, Sithok menjabat ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM Undip. Artinya dia mahasiswa nomor satu di kampus kebanggaan wong Semarang itu. Belum lagi kegiatan lainnya yang seabrek, sebagai pengelola koran kampus, aktifis ormas dan partai politik. Dia termasuk golongan masbuk alias mahasiswa super sibuk. Heheh.

Lihat selengkapnya