Istana Merdeka, Jakarta
30 Oktober 2044, Pukul 10.05 WIB
Udara di Ruang Kredensial Istana Merdeka pagi itu terasa berat oleh formalitas dan antisipasi. Kilatan cahaya dari kamera blitz menyambar bertubi-tubi, memantul pada pilar-pilar kokoh dan lantai marmer yang dingin mengkilap. Karpet tebal berwarna merah marun seolah menelan setiap suara langkah kaki, tapi tak mampu meredam dengung rendah percakapan tertahan dan bunyi klik rana kamera yang tak henti. Di bawah tatapan bisu lukisan-lukisan besar para pahlawan bangsa yang tergantung megah di dinding berpanel kayu gelap, ruangan agung itu hari ini bertransformasi menjadi panggung sorotan media yang terasa sedikit menyesakkan.
Di tengah pusaran perhatian itu, Presiden Republik Indonesia kesepuluh, Nisa Farha, melangkah masuk. Di sisinya, dengan langkah yang sama tegap, tetapi memancarkan aura santai yang kontras, berjalan Reza Satria. Selama 19 tahun terakhir, pria ini bukan hanya menjadi suami dan teman hidup Nisa, tetapi juga sandaran tak tergoyahkan dalam riuh rendah dan pusaran tak terduga kehidupan sebagai pasangan nomor satu di negeri kepulauan ini. Hari ini adalah momen langka, sebuah perayaan privat yang “dicuri” oleh korps media nasional dan beberapa perwakilan internasional: sembilan belas tahun usia pernikahan mereka.
Nisa, seperti biasa, tampil dengan keanggunan yang bersahaja. Ia mengenakan tunik batik modern berwarna biru lembut dengan potongan yang anggun dan lengan panjang, serasi membungkus figurnya yang ramping. Untuk bawahannya, ia memilih rok panjang berwarna putih gading yang rapi, memberikan kesan profesional, tetapi tetap feminin. Hijab berwarna senada yaitu biru pucat ditata dengan gaya modern yang simpel, tetapi elegan, membingkai wajahnya yang berkulit langsat terawat. Sebuah bros mutiara disematkan apik di sisi hijabnya. Senyum hangat yang selalu berhasil menenangkan—senyum yang menjadi ciri khasnya—terkembang tulus di bibirnya meskipun sorot matanya yang cerdas dan tajam tak bisa sepenuhnya menyembunyikan jejak kelelahan tipis di baliknya. Sisa rapat maraton hingga larut malam tadi tentang proyeksi defisit anggaran negara masih terasa memberati pelipisnya.
Reza, di sebelahnya, adalah penyeimbang yang sempurna. Kemeja batiknya berwarna senada, tetapi dengan potongan yang lebih kasual dan dua kancing teratas dibiarkan terbuka, menyiratkan karakternya yang lebih bebas. Wajahnya yang tampan, dengan garis rahang tegas dan senyum yang selalu tampak menyimpan sedikit kejahilan, terlihat lebih rileks di bawah sorotan lampu. Seolah tak terpengaruh oleh puluhan lensa yang mengarah padanya, tangannya bahkan sempat terulur, dengan gerakan spontan dan intim yang tak luput dari beberapa jepretan kamera, merapikan kerah blus Nisa sesaat sebelum mereka duduk di dua kursi berlengan empuk berwarna emas pucat yang telah disiapkan di tengah ruangan.
"Selamat pagi, Ibu Presiden, Bapak Reza," seorang wartawati senior dari stasiun televisi nasional terkemuka, dikenal dengan reputasinya yang gigih, tetapi tetap menjaga etika, membuka sesi wawancara. Suaranya terdengar jernih memecah keheningan sesaat. "Pertama-tama, izinkan kami dari seluruh rekan media mengucapkan selamat merayakan ulang tahun pernikahan emas ... eh, maaf," koreksinya terdengar sedikit gugup, mengundang senyum geli dari Nisa dan Reza, "maksud saya perak ... ah, bukan, sembilan belas tahun!" Tawa kecil yang tulus dari pasangan presiden itu berhasil mencairkan ketegangan awal di ruangan.
"Terima kasih atas waktunya di tengah kesibukan Ibu dan Bapak yang luar biasa," lanjut wartawati itu, kembali menemukan ketenangannya. "Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang singkat, terlebih menjalaninya di bawah sorotan publik dan tanggung jawab sebesar ini. Mungkin bisa dibagi kepada kami dan seluruh masyarakat Indonesia yang mengagumi keharmonisan Ibu dan Bapak, apa rahasianya, Bu Presiden, Bapak Reza, bisa tetap solid, harmonis, dan tampak mesra selama hampir dua dekade, ya, memimpin rumah tangga, sekaligus memimpin negara bagi Ibu?"
Semua mata kini tertuju pada Nisa. Ia tersenyum lagi, kali ini melirik Reza sekilas dari sudut matanya, sebuah gestur refleks mencari afirmasi non-verbal dari suaminya—kebiasaan kecil yang menunjukkan kedekatan mereka. "Selamat pagi kembali. Terima kasih banyak atas ucapan dan doa-doanya," jawab Nisa, suaranya tenang dan berwibawa, memproyeksikan keteduhan yang menjadi salah satu kekuatannya sebagai pemimpin.