Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #3

Sembilan Belas Tahun

Paviliun Pribadi Presiden Malam Hari

Matahari telah lama menyerah pada cakrawala Jakarta, meninggalkan goresan jingga dan ungu yang kini memudar menjadi kelamnya malam. Jauh dari keramaian dan formalitas Istana Negara, tersembunyi di antara taman rimbun beraroma melati yang samar tercium di udara malam, paviliun pribadi Nisa dan Reza berdiri sebagai benteng ketenangan, sebuah sanctuary. Di sinilah mereka menanggalkan jubah kekuasaan dan menjadi diri mereka sendiri: Nisa dan Reza.

Di dalam ruang keluarga yang hangat dan nyaman, suasana terasa begitu berbeda dari keriuhan konferensi pers beberapa jam sebelumnya. Cahaya lembut dari beberapa lilin aromaterapi beraroma cendana dan lavender menari-nari di dinding, menciptakan bayangan intim dan suasana tenang. Udara terasa damai, tetapi ada lapisan energi berbeda malam ini, bukan hanya relaksasi pasca perayaan, tapi juga sedikit beban pikiran yang dibawa Nisa dari ruang kerjanya.

Reza, sudah berganti dengan kaus polo santai dan celana kargo, sedang asyik di sudut ruangan yang ia sulap menjadi mini studio DJ pribadinya. Sebuah passion lama dari masa mudanya sebelum terjun ke dunia bisnis dan kemudian terseret ke pusaran politik Istana. Beberapa turntable, mixer, dan speaker berkualitas tinggi tertata rapi. Malam ini, ia tidak memutar piringan hitam funk lawas kesukaan mereka, melainkan alunan chill electronica yang mengalir lembut, menciptakan atmosfer yang menenangkan namun juga sedikit melankolis. Beat-nya halus, synth pad-nya mengawang, seolah mencoba membungkus ruangan dengan lapisan ketenangan sonik.

Nisa, sudah berganti piyama sutra berwarna gading gajah, mendekat perlahan, membawa dua cangkir teh kamomil hangat. la menyerahkan satu pada Reza, yang menerimanya dengan senyum terima kasih, sejenak menghentikan gerakan tangannya di atas mixer. Mereka duduk bersama di sofa beludru zamrud yang empuk, sofa saksi bisu keintiman mereka.

"Musiknya bagus, Mas" kata Nisa pelan, menyesap tehnya, membiarkan kehangatan menjalar. "Menenangkan."

Reza mengangguk, menyesap tehnya juga. "Aku cuma mencoba mencari frekuensi yang pas malam ini," jawabnya, matanya menatap Nisa penuh perhatian, menangkap sisa-sisa keresahan yang masih membayang di wajah istrinya meskipun Nisa berusaha menyembunyikannya. "Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Sayang? Sejak sore tadi kamu terlihat sedikit ... jauh."

Lihat selengkapnya