Istana Negara, Jakarta
31 Oktober 2044, Pukul 14.15 WIB
Dinginnya pendingin ruangan di Ruang Rapat Kabinet terasa menusuk kulit, tetapi tak cukup untuk mendinginkan atmosfer yang sedikit menghangat oleh paparan data dan grafik berwarna cerah di layar besar ujung meja. Menteri Koordinator Perekonomian, seorang pria berperawakan tegap dengan suara berat yang selalu terdengar penuh keyakinan, baru saja menyelesaikan presentasinya mengenai proyeksi ekonomi kuartal keempat.
Angka-angka inflasi yang terkendali, target investasi yang optimis, dan stabilitas nilai tukar dipaparkan dengan runtut, memberikan gambaran makro yang cukup menjanjikan di atas kertas.
Para menteri dan pejabat setingkat menteri yang duduk mengelilingi meja panjang berukir itu tampak serius. Beberapa menunduk, membuat catatan ringkas di layar tablet masing-masing. Yang lain bersandar sedikit di kursi kulit tinggi mereka, wajah mereka mencerminkan konsentrasi—atau mungkin kebosanan yang disamarkan dengan baik. Ruangan yang didominasi warna cokelat kayu gelap dan krem pucat itu terasa senyap sesaat setelah Menko Perekonomian menutup presentasinya.
Presiden Nisa Farha duduk di kursi kehormatan di tengah meja, menyimak setiap kata dengan saksama. Jemarinya yang ramping terkatup rapi di atas permukaan meja yang mengkilap, sebuah kebiasaan yang menunjukkan fokusnya. Tatapannya lurus ke arah layar, tetapi bagi mereka yang mengenalnya dengan baik, seperti Angel Marina yang duduk sigap di belakangnya dengan laptop terbuka, terlihat jelas bahwa pikiran Nisa bekerja jauh melampaui sekadar angka PDB dan neraca perdagangan. Ada kilatan lain di matanya, sebuah perenungan yang lebih dalam.