Kamar Tidur Pribadi Presiden, Istana Negara
Pukul 22.30 WIB
Keheningan malam menyelimuti kamar tidur pribadi pasangan presiden yang luas, tetapi terasa hangat dan nyaman. Tirai tebal berwarna gading yang menjuntai dari langit-langit tinggi telah ditarik rapat, meredam hiruk pikuk lalu lintas dan denyut kehidupan ibu kota yang tak pernah tidur di luar sana. Cahaya temaram dari lampu baca di masing-masing sisi tempat tidur berukir Jepara yang megah menciptakan suasana intim dan tenang. Aroma lembut essential oil lavender dan chamomile menguar samar dari diffuser keramik putih di sudut ruangan, sengaja dipasang Nisa untuk membantu meredakan ketegangan setelah hari yang panjang.
Nisa, sudah berganti pakaian dengan piyama setelan sutra berwarna krem pucat, bersandar nyaman di kepala ranjang yang empuk. Sebuah buku bersampul tebal—novel sejarah pemenang penghargaan tentang perjuangan seorang tokoh perempuan di era kolonial yang sedang coba ia tamatkan selama beberapa minggu terakhir di sela kesibukannya—tergeletak terbuka di pangkuannya. Namun, matanya tidak tertuju pada barisan kalimat di halaman itu.
Pandangannya tampak menerawang jauh, menembus dinding kamar, pikirannya jelas sedang berkelana ke tempat lain, ke isu yang menggelisahkannya sejak kemarin.
Pintu kamar mandi yang terhubung dengan kamar tidur terbuka pelan, dan Reza muncul dari baliknya. Rambut hitamnya yang biasanya tertata rapi kini tampak masih sedikit lembap dan acak-acakan sehabis mandi. Ia hanya mengenakan kaus oblong putih polos yang memperlihatkan bahunya yang bidang dan celana pendek katun berwarna abu-abu gelap. Penampilan santai yang jarang terlihat di depan publik, sisi privat dari seorang Reza Satria.
Melihat Nisa termenung dengan buku terbuka di pangkuan, Reza tersenyum tipis. Ia berjalan mendekati sisi ranjang tempat Nisa bersandar. Tanpa banyak kata, sebuah ritual keakraban yang sudah terbangun di antara mereka, ia duduk di tepi ranjang menghadap Nisa. Lalu dengan lembut, ia meraih salah satu kaki Nisa yang terlipat di atas selimut, mengangkatnya sedikit, dan mulai memijat telapak kakinya dengan gerakan pelan, mantap, dan penuh perhatian.
Sentuhan hangat dan tekanan yang pas dari jemari Reza di titik-titik lelah telapak kakinya seolah menjadi sengatan lembut yang membangunkan Nisa dari lamunannya. Ia menoleh pada Reza, senyum lelah namun penuh rasa terima kasih terukir samar di wajahnya yang tampak sedikit pucat di bawah cahaya lampu baca.