Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #6

Merancang Fondasi Baru Keluarga

Ruang Diskusi Presiden (Situation Room), Istana Negara

1 November 2044, Pukul 09.00 WIB

Berbeda dengan kemegahan formal Ruang Rapat Kabinet atau Ruang Kredensial yang gemerlap, Ruang Diskusi Presiden—atau yang lebih dikenal sebagai Situation Room Istana—memancarkan aura fungsionalitas yang dingin dan efisien. Ruangan ini tak terlalu besar, didominasi meja oval panjang berbahan kayu terang yang permukaannya bersih dari tumpukan kertas tak perlu, dikelilingi belasan kursi ergonomis berwarna hitam yang menjanjikan kenyamanan untuk diskusi berjam-jam. Dindingnya dilapisi panel berwarna abu-abu netral, dilengkapi beberapa layar monitor besar yang kini menampilkan berbagai bagan demografi, data sosial, dan grafik tren yang relevan. Satu layar utama di ujung meja masih dibiarkan kosong, menunggu diisi oleh gagasan-gagasan yang akan lahir pagi itu. Jendela besar di satu sisi memperlihatkan potongan taman Istana yang hijau segar setelah diguyur hujan semalam, tetapi tirai vertikalnya ditarik setengah menutup, menjaga agar fokus tetap berada di dalam ruangan. Udara terasa dingin oleh hembusan pendingin ruangan yang bekerja senyap, namun ada energi antisipasi yang kental, sebuah getaran serius yang terasa di udara.

Di ujung meja, di kursi utama yang sedikit lebih tinggi, Presiden Nisa Farha duduk tegak. Posturnya memancarkan ketenangan, namun sorot matanya tajam dan penuh konsentrasi. Secangkir teh melati hangat—ritual paginya—mengepulkan uap tipis di sisinya, aromanya menjadi satu-satunya sentuhan personal di tengah atmosfer kerja yang intens.

Di sekelilingnya duduk lingkaran terdalam, tim inti kepercayaannya yang ia kumpulkan khusus pagi itu untuk sebuah misi yang ia sadari akan menjadi salah satu pertaruhan terbesarnya:

Kebetulan baru hadir Angel Marina, asisten pribadi Nisa yang merangkap sebagai kepala komunikasi digital Istana. Wanita muda cerdas ini duduk sigap dengan tablet di hadapannya, siap mencatat, menganalisis sentimen, dan merancang strategi narasi.

Nisa baru saja sedikit memaparkan garis besar visinya pada Angel, gagasan yang lahir dari ironi perayaan pernikahannya sendiri yang kontras dengan berita tragis pernikahan paksa, gagasan yang semalam ia diskusikan dan dapatkan dukungan penuh dari Reza.

Tiba-tiba sesosok pemuda jangkung dengan gaya effortlessly cool muncul di belakangnya, bersandar santai di kusen pintu seolah itu adalah pintu kamarnya sendiri. Kaus band rock indi uar negeri yang sedikit pudar, jins belel di lutut, dan sneaker edisi terbatas yang mencolok – kontras total dengan suasana formal Istana. Alex, putra tunggal Nisa dan Reza, yang kini beranjak dewasa dan entah bagaimana selalu berhasil menyelinap masuk ke area terbatas ini tanpa terdeteksi protokoler. Ia menyeringai tipis, mewarisi tatapan jenaka Reza dan bibir Nisa yang mudah tersenyum.

"Kontroversi itu kan nama tengah Mama," celetuk Alex santai, nadanya datar namun jelas menggoda. "Lagian, ngapain sih repot-repot mikirin nikah? Siapa juga yang butuh nikah kalau bisa bahagia jadi jomblo berkualitas kayak Tante Angel ini?" Ia mengedipkan sebelah matanya pada Angel, yang wajahnya langsung memerah padam dan buru-buru membuang muka, pura-pura merapikan map di tangannya.

"Alexander Damar Satria!" tegur Nisa, nadanya tegas, tapi sudut bibirnya tak bisa menahan senyum geli. Meski kadang komentar sinis dan gaya slengean putranya itu membuatnya pusing tujuh keliling, ia diam-diam menghargai kejujuran brutal Alex – warisan darinya sendiri, mungkin? – yang seringkali menjadi penyeimbang di tengah basa-basi dunia politik.

“Mama lagi serius bahas program penting nih, Lex. Dan berhenti menggoda Angel, kasihan dia, heheh,” sahut Nisa. "Cuma bilang fakta kok, Ma," Alex mengangkat bahu acuh tak acuh, melangkah masuk tanpa permisi dan menjatuhkan diri dengan nyaman di sofa teal, menyilangkan kakinya yang panjang.

"Tapi serius deh, Ma. Program itu bagus idenya, revolusioner malah. Tapi ya siap-siap aja diserang habis-habisan sama gerombolan 'penjaga moral bangsa' atau kelompok 'anti-liberalisasi keluarga' atau apalah nanti nama keren yang mereka pakai." Ia menatap Nisa, kali ini sorot matanya lebih serius.

"Iya, Sayang, Mama tau itu," Nisa menghela napas lagi, kali ini lebih panjang, terasa lebih berat. Ia meraih tabletnya kembali, membuka catatan lain di dalamnya – kumpulan coretan, kutipan artikel, dan pemikirannya sendiri tentang interpretasi ajaran agama yang menurutnya seringkali disalahgunakan untuk menekan perempuan, membenarkan KDRT, atau memaksakan pernikahan dini atas nama 'ibadah'.

Ia begitu muak dengan dogma kaku yang mengabaikan esensi kasih sayang dan keadilan. "Justru karena Mama tahu akan ada serangan itulah, suara ini harus tetap ada, Lex. Suara yang berani mengingatkan kalau esensi ajaran agama yang sesungguhnya itu seharusnya membebaskan akal dan jiwa, bukan mengekang dan menakut-nakuti. Rahmatan lil alamin, kasih sayang untuk seluruh alam, bukan rahmatan lil maksa-maksa nikah padahal belum siap," gumamnya lebih pada dirinya sendiri, mengutip salah satu frasa favoritnya.

Alex yang sedari tadi menyimak perkataan ibunya itu, mendengus pelan. "Ya udah, Ma, kalau gitu siap-siap aja Istana ini makin rame kayak pasar malem," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk didengar. Kemudian ia pergi pamit pada ibundanya itu.

Lihat selengkapnya