Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #7

Janji Menjaga

Taman Belakang Istana Negara

1 November 2044, Pukul 17.00 WIB

Aroma tanah basah sisa hujan deras yang mengguyur Jakarta sore itu menguar segar di udara, bercampur dengan wangi lembut bunga melati dan kenanga yang merambat di pergola tak jauh dari teras belakang Istana. Langit senja di ufuk barat mulai membiaskan sapuan warna jingga, ungu, dan merah muda yang dramatis, memantul lembut pada dedaunan yang masih bergelayut titik-titik air. Suasana terasa damai, kontras dengan ketegangan dan intensitas rapat di Situation Room pagi tadi.

Nisa Farha berjalan pelan di jalur setapak taman Istana yang berkelok di antara petak-petak mawar dan rumpun helikonia yang rimbun. 

Langkahnya terasa sedikit lebih ringan sekarang, beban keputusan awal telah diambil, roda perubahan mulai digerakkan. Di sampingnya, berjalan Reza, tangannya menggenggam jemari Nisa dengan kehangatan yang familiar. Mereka baru saja selesai menikmati teh sore di teras belakang, sebuah ritual singkat yang mereka usahakan untuk tetap ada di tengah jadwal kepresidenan yang padat. Selama minum teh tadi, Nisa telah menceritakan ringkasan hasil rapatnya dengan Angel, Anton, dan Dr. Haryati—tentang tiga pilar RUU, tantangan yang diidentifikasi, dan instruksi yang ia berikan.

Reza mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk atau mengajukan pertanyaan klarifikasi singkat, otaknya yang terlatih sebagai pebisnis sekaligus sebagai partner hidup Nisa segera menangkap kompleksitas dan potensi risiko dari gagasan besar istrinya itu.

"Jadi, tim inti sudah mulai bergerak," Nisa membuka kembali percakapan saat mereka berjalan menjauh dari teras, suaranya terdengar lebih lega dibanding pagi tadi, namun tetap menyiratkan keseriusan yang mendalam. "Alex sedang mengumpulkan data dampak sosial dan potensi argumen penolakan. Angel mulai merancang strategi komunikasi positif. Bu Haryati membentuk tim hukum untuk mengkaji celah dan merumuskan pasal yang kuat.”

"Langkah pertama yang bagus, Sayang," komentar Reza tulus, matanya menatap profil Nisa yang diterpa cahaya senja. "Timmu orang-orang hebat, aku yakin mereka bisa diandalkan."

"Ya, aku percaya penuh sama mereka," sahut Nisa, senyum tipis tersungging di bibirnya. Namun senyum itu sedikit memudar saat ia melanjutkan, pandangannya menerawang ke arah rimbunnya pepohonan di depan. Ia menghela napas pelan. "Tapi aku juga tahu ini gak akan mudah, Mas," ujarnya lirih, menyuarakan kembali kekhawatiran yang sempat terlintas di benaknya dan juga diutarakan oleh timnya tadi pagi. "Akan banyak sekali yang menentang. Kelompok-kelompok yang merasa zona nyamannya terusik, yang merasa nilai-nilai mereka terancam. Akan banyak sekali kesalahpahaman, mungkin fitnah juga. Mungkin ... akan ada banyak yang benci sama aku nanti." Ada nada getir tipis yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir. 

Lihat selengkapnya