Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #8

Bisikan Berbisa

Tekanan udara di dalam kompleks Istana

Di tengah riuhnya suasana pembahasan dan diskusi RUU inilah, di celah-celah yang mulai tampak di antara pasangan paling berkuasa di negeri itu, Rahmat Iskandar menemukan panggungnya untuk bermain.

Rahmat Iskandar. Nama yang terdengar biasa saja, sosok yang penampilannya pun tak mencolok. Sebagai salah satu staf ahli kepercayaan di lingkaran dalam Istana, ia direkrut di awal masa jabatan Nisa karena kecerdasannya yang tajam di atas rata-rata dan rekam jejak akademis serta pengalaman birokrasinya yang mengesankan. Di permukaan, ia adalah perwujudan profesionalisme dan efisiensi: selalu tepat waktu, analisisnya mendalam dan berbasis data, tutur katanya santun dan terukur, selalu tampak siap sedia membantu kapanpun dibutuhkan, tak pernah mengeluh. Loyalitasnya pada Presiden Nisa tampak tak tergoyahkan.

Namun, di balik senyumnya yang tipis dan sikapnya yang selalu tampak tenang dan suportif itu, tersimpan rapi sebuah ambisi dingin yang tak terpuaskan dan kekecewaan pribadi yang membara perlahan. Rahmat, dengan kecerdasan analitisnya yang luar biasa, merasa “terlewati”. Ia merasa potensinya yang sesungguhnya sebagai ahli strategi politik dan kebijakan tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh gaya kepemimpinan Nisa yang menurutnya terlalu mengandalkan intuisi, terlalu populis, terlalu “emosional”, dan kurang menghargai analisis strategis yang dingin dan terukur seperti miliknya. Ia merasa lebih pantas berada di posisi yang jauh lebih tinggi – mungkin Menteri Sekretaris Negara, atau setidaknya Kepala Staf Kepresidenan – posisi yang tampaknya tak akan pernah ia raih selama Nisa, dengan gaya kepemimpinannya yang unik dan lingkaran kepercayaan yang menurutnya cenderung loyal pada figur daripada sekadar kompetensi teknis, masih memegang kendali.

Serangan bertubi-tubi terhadap Nisa dan Reza setelah insiden video dansa dan kontroversi RUU Kesiapan Berkeluarga dilihatnya bukan sebagai krisis, melainkan sebagai sebuah kesempatan emas. Ia melihat celah dalam tekanan hebat yang sedang dihadapi pasangan presiden itu. Celah kerapuhan dalam hubungan mereka, celah kelelahan dalam pertahanan Nisa, celah frustasi dalam diri Reza. Sebuah kesempatan untuk menggoyang fondasi yang tampak kokoh itu dari dalam. Mungkin demi keuntungan politik pribadinya di masa depan, bersekutu diam-diam dengan faksi lain yang juga tak menyukai Nisa. Atau mungkin, sesederhana kepuasan sinis seorang intelektual yang merasa superior melihat sosok yang ia anggap “tidak layak” itu akhirnya goyah dan rapuh.

Permainan Rahmat begitu halus, nyaris tak kasat mata, seperti racun arsenik yang bekerja perlahan tanpa rasa atau bau. Ia memanfaatkan posisinya yang strategis sebagai salah satu staf ahli kunci yang memiliki akses informasi langsung ke Nisa dan Reza, seringkali menjadi jembatan komunikasi informal antara keduanya atau antara mereka dengan staf kunci lainnya ketika jadwal mereka terlalu padat untuk bertemu langsung. Ia menjadi penyampai pesan yang tampak "terpercaya" dan "efisien", tetapi selalu dengan sedikit modifikasi, sedikit penekanan yang berbeda, sedikit informasi kunci yang sengaja ia hilangkan atau tambahkan, semuanya dibungkus dalam nada keprihatinan atau efisiensi kerja.

Kepada Reza, misalnya, setelah Nisa selesai rapat alot dengan tim hukum membahas strategi menghadapi gugatan potensial terhadap RUU atau rapat panas dengan fraksi partai koalisi yang mulai goyah dukungannya, Rahmat akan melaporkan hasilnya kepada Reza (jika kebetulan Nisa belum sempat bicara langsung) dengan nada prihatin yang dibuat-buat.

"Rapatnya tadi cukup menegangkan, Pak," Rahmat akan memulai, suaranya pelan dan penuh hormat saat ia “secara tidak sengaja” berpapasan dengan Reza di koridor Istana atau mampir sebentar ke ruang kerja Reza dengan dalih menyerahkan laporan lain. "Ibu Presiden tampak ... sangat passionate sekali mempertahankan argumennya. Mungkin sedikit terlalu keras kepala, menurut beberapa pihak yang hadir. Beliau sepertinya agak sulit menerima masukan alternatif yang mungkin lebih aman secara politik saat ini. Tekanannya memang luar biasa sih, Pak. Mungkin beliau sedikit ... emosional?" Rahmat akan menambahkan bagian terakhir itu dengan nada ragu, seolah ia enggan mengatakannya tapi merasa “perlu” menyampaikannya pada Reza demi “kebaikan bersama”. Ia sengaja mengabaikan konteks perjuangan Nisa melawan tembok birokrasi atau tekanan politik yang luar biasa, membingkainya seolah-olah Nisa bertindak gegabah, impulsif, dan tidak mau mendengar nasihat. Tujuannya jelas: menanamkan benih keraguan di benak Reza tentang kebijaksanaan Nisa, membuatnya merasa Nisa tidak lagi menghargai masukannya atau bertindak terlalu nekat, membuatnya khawatir.

Sebaliknya, kepada Nisa (atau lebih sering melalui Angel, agar terkesan lebih formal dan tidak mencurigakan), Rahmat akan "secara tidak sengaja" dan dengan nada penuh simpati menyebutkan betapa Reza terlihat "sangat muram", "tertekan", atau "sangat terbebani" setelah pertemuan bisnisnya yang membahas dampak negatif serangan fitnah terhadap reputasi perusahaannya.

Lihat selengkapnya