Paviliun Pribadi Presiden, Istana Negara
Malam Hari, Setelah Rencana Makan Malam yang Gagal
Malam itu, ketika Nisa dan Reza akhirnya bertemu di kamar tidur paviliun pribadi mereka – setelah Nisa menyelesaikan rapat hukumnya yang melelahkan dan Reza kembali dari ruang kerjanya yang terasa dingin dan sepi – udara di antara mereka terasa begitu berat, begitu canggung, begitu dingin. Kehangatan akrab yang biasanya langsung terasa begitu mereka berada di ruang yang sama kini lenyap sama sekali, digantikan oleh dinding tak kasat mata yang tebal dan dingin, dibangun dari bata-bata kekecewaan, kesalahpahaman, dan kelelahan akut.
Lilin aromaterapi lavender yang biasanya menenangkan kini menebarkan aroma yang terasa ironis di tengah ketegangan yang membekap. Tak ada alunan musik yang mengisi keheningan – baik chill electronica Reza maupun melodi folk The Corrs kesukaan Nisa. Paviliun yang biasanya menjadi sanctuary mereka kini terasa seperti medan perang dingin yang sunyi, menunggu ledakan yang tak terhindarkan.
Reza sedang duduk membeku di tepi ranjang, baru saja selesai melepas sepatunya dengan gerakan lambat dan mekanis. Punggungnya sedikit membungkuk, menyiratkan beban yang tak terlihat, tetapi begitu nyata. Ia menatap kosong ke lantai marmer yang dingin, pikirannya mungkin masih memutar ulang pesan Rahmat Iskandar yang menyakitkan: "... beliau sedang sangat fokus dan mungkin ... sulit untuk diganggu dulu saat ini." Kalimat itu terasa seperti duri yang menusuk egonya, rasa cintanya, kebutuhannya untuk merasa dibutuhkan oleh wanita yang paling ia cintai, terutama di saat ia sendiri merasa diserang dari luar.
Nisa berdiri kaku di dekat lemari pakaian besar berukir, pura-pura memilih baju tidur padahal pikirannya berkecamuk hebat. Tangannya gemetar halus saat menyentuh kain sutra piyama. Ia masih tak percaya dengan apa yang Angel katakan: "... bapak Reza yang membatalkan rencana makan malam, Bu. Katanya bapak ada urusan mendadak yang sangat penting dengan klien dari luar negeri ..." Bagaimana mungkin Reza tega melakukan itu? Membatalkan janji penting mereka di tengah badai ini demi klien? Apakah ia benar-benar tidak peduli lagi? Apakah beban ini sudah terlalu berat baginya?
"Jadi," Reza yang pertama memecah keheningan yang terasa menyiksa itu. Suaranya terdengar datar, kosong, berusaha keras menyembunyikan kekecewaan dan rasa sakit hatinya yang begitu dalam. Ia tak menoleh pada Nisa saat bicara. "Rapatmu soal strategi pembelaan itu ternyata jauh lebih penting daripada janji makan malam kita malam ini, ya?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja, terdengar lebih seperti tuduhan pahit daripada sebuah pertanyaan tulus. Ia berasumsi Nisa yang membatalkan, Nisa yang memilih pekerjaan di atas mereka, persis seperti yang disiratkan oleh Rahmat.
Nisa, yang juga merasa lelah secara fisik dan emosional, dan masih sangat terluka oleh "pembatalan sepihak" Reza yang baru ia ketahui dari Angel, langsung tersulut emosinya mendengar tuduhan tak langsung itu. Pertahanan dirinya otomatis naik. "Aku gak pernah bilang begitu!" balasnya defensif, nada suaranya tanpa sadar naik satu oktaf, bergetar karena campuran antara lelah dan marah. Ia berbalik menghadap Reza, tatapannya tajam menusuk punggung suaminya. "Memangnya, kamu pikir aku sengaja mengabaikanmu? Memangnya kamu pikir aku menikmati rapat alot berjam-jam itu? Aku juga baru selesai rapat yang membahas bagaimana caranya membela kita dari serangan mereka! Membela kamu juga!"
Reza akhirnya menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Nisa yang berkilat marah. Ada kilatan sakit hati di matanya. "Aku tau kamu rapat untuk kita," katanya, nadanya masih terdengar dingin, menolak untuk melihat sisi Nisa, terlanjur termakan oleh bisikan Rahmat dan kekecewaannya sendiri. "Tapi aku juga butuh kamu malam ini, Sa. Sangat butuh. Aku butuh dukunganmu setelah seharian ini merasa seperti samsak tinju di luar sana karena membela kebijakanmu! Aku hanya ingin satu malam yang tenang bersamamu, hanya kita berdua. Apa itu permintaan yang terlalu banyak?"
"Dan kamu pikir aku tidak butuh kamu?!" sergah Nisa balik, suaranya kini benar-benar bergetar menahan tangis frustasi. Ia melangkah mendekat, berdiri di depan Reza yang masih terduduk, menatapnya nanar. "Kamu pikir aku ini robot yang tidak punya perasaan? Kamu pikir aku menikmati semua serangan dan tekanan ini? Aku juga lelah, Za! Lelah luar biasa! Lelah diserang dari segala arah, lelah harus terus membela diri dari tuduhan-tuduhan gila, dan sekarang aku juga harus merasa bersalah karena suamiku sendiri merasa aku mengabaikannya dan malah pergi menemui klien?!". Air mata frustasi yang ia tahan sejak sore mendengar kabar dari Angel akhirnya mulai menggenang di pelupuk matanya.