Grand Ballroom Hotel Bimasena, Jakarta
15 November 2044, Pukul 11.00 WIB
Kilau ribuan kristal dari lampu gantung raksasa yang menggantung megah di langit-langit tinggi memandikan Grand Ballroom Hotel Bimasena dalam cahaya keemasan yang hangat namun terasa formal. Di bawahnya, ratusan tamu undangan terbaik telah duduk rapi di kursi-kursi berlapis beludru berwarna marun, menghadap ke panggung utama yang didekorasi mewah dengan rangkaian bunga lili putih, mawar merah muda, dan anggrek bulan. Aroma wangi bunga berbaur lembut dengan parfum mahal para tamu dan denging halus gelas kristal yang sesekali beradu.
Ini adalah perhelatan tahunan Peringatan Hari Pernikahan Nasional, sebuah acara prestisius yang dihadiri oleh para pejabat tinggi negara, jajaran menteri kabinet, duta besar negara-negara sahabat dengan pasangan mereka, tokoh-tokoh masyarakat terkemuka, aktivis isu keluarga, dan tentu saja, barisan media yang siap meliput setiap momen. Di barisan terdepan, beberapa pasangan lanjut usia yang pernikahannya telah melampaui usia emas duduk dengan senyum bangga, baru saja menerima penghargaan sebagai pasangan inspiratif. Suasana terasa meriah, merayakan cinta, komitmen, dan keharmonisan rumah tangga – setidaknya di permukaan.
Di antara tamu VVIP di barisan terdepan, Reza Satria duduk tegak dan penuh pesona. Setelan jas berwarna biru gelap yang dirancang khusus membalut tubuhnya yang atletis dengan sempurna, dasi sutranya berwarna senada dengan gaun midi-dress batik modern yang dikenakan Nisa. Senyum ramahnya tak pernah lepas saat ia sesekali membalas sapaan atau anggukan hormat dari tamu lain yang melintas. Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan tipis yang tergambar di sudut matanya saat ia menatap ke arah panggung yang masih kosong, menanti giliran istrinya untuk memberikan pidato utama. Reza tahu persis apa yang akan Nisa sampaikan hari ini. Ia tahu, dari diskusi-diskusi larut malam mereka dan sorot mata Nisa yang penuh tekad, bahwa pidato ini tidak akan sekadar menjadi rangkaian kata-kata normatif pemanis acara. Nisa akan melempar batu besar ke kolam yang selama ini tampak tenang.
Setelah sesi pemberian penghargaan selesai dan pembawa acara dengan suara merdunya menyelesaikan pengantar, momen yang ditunggu pun tiba. "Dan kini, hadirin sekalian, marilah kita sambut dengan hormat, Presiden Republik Indonesia, Ibu Nisa Farha, untuk memberikan pidato utama Peringatan Hari Pernikahan Nasional tahun ini!”
Semua mata tertuju ke pintu samping panggung. Nisa muncul, melangkah dengan anggun dan penuh percaya diri menuju podium utama. Ia mengenakan gaun panjang dari batik sutra berwarna biru malam dengan motif parang kontemporer yang dimodifikasi, potongannya elegan dan berlengan panjang, begitu serasi dengan figurnya yang ramping dan posturnya yang tegak. Hijabnya, mengambil salah satu nuansa dari motif batiknya, ditata dengan gaya formal yang anggun dan kharismatik. Sebagai pengganti tusuk konde, sebuah bros perak berukir melati halus tersemat indah di hijabnya. Saat ia mencapai podium akrilik bening itu, ia berhenti sejenak. Menyapu pandangannya ke seluruh lautan wajah di hadapannya, dari para pejabat hingga barisan media di belakang. Senyum tipis yang menenangkan terkembang di bibirnya, namun di balik senyum itu, matanya memancarkan tekad kuat yang tak tergoyahkan. Dari bawah panggung, ia bisa merasakan tatapan Reza, sebuah jangkar tak terlihat yang memberinya tambahan kekuatan di momen krusial ini.
"Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," suara Nisa terdengar jernih dan tenang, namun memiliki resonansi yang seketika memenuhi ballroom megah itu melalui sistem pengeras suara yang canggih. "Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Sejahtera beserta Ibu dan Bapak pendamping," ia memulai sapaan formalnya, menyebut beberapa nama menteri kunci yang hadir. "Yang Mulia para Duta Besar negara sahabat beserta pasangan. Yang saya muliakan para tokoh agama, tokoh masyarakat, para aktivis isu keluarga. Yang saya banggakan, para pasangan inspiratif yang berbahagia hari ini, serta seluruh tamu undangan dan rekan-rekan media yang saya cintai."
Ia memberikan jeda sejenak, membiarkan sapaannya meresap, sekaligus menarik napas mempersiapkan diri. "Sungguh sebuah kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya untuk dapat berdiri di sini hari ini, bersama Bapak dan Ibu sekalian, dalam rangka merayakan Hari Pernikahan Nasional," lanjutnya. "Sebuah hari yang kita dedikasikan untuk kembali merenungkan makna cinta sejati, arti komitmen jangka panjang, kekuatan kesetiaan dalam suka dan duka, dan tentu saja …," ia sedikit tersenyum jenaka, matanya berkeliling menatap hadirin, "… tingkat kesabaran yang luar biasa."
Ucapan terakhirnya mengundang tawa ringan dari beberapa sudut ruangan. Nisa ikut tersenyum. "Saya dan suami saya, Mas Reza," ia melirik sekilas ke arah Reza yang tersenyum lebar di kursinya, "baru saja merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kesembilan belas beberapa minggu lalu," ia merujuk pada wawancara mereka yang sempat viral. "Dan percayalah, Bapak Ibu, hampir dua dekade itu mengajarkan kami banyak sekali pelajaran berharga, terutama tentang seni tertinggi dalam berkompromi soal siapa yang sebenarnya lebih berhak memegang kendali Netflix di malam hari."
Lagi-lagi tawa terdengar, kali ini lebih lepas. Suasana terasa cair dan hangat. Nisa berhasil membangun koneksi awal dengan audiensnya, menunjukkan sisi manusiawinya di balik jabatan kepresidenan.
Namun, seperti lampu sorot yang tiba-tiba berganti warna, senyum di wajah Nisa perlahan memudar. Ekspresinya berubah menjadi lebih serius, lebih dalam, penuh perenungan. Nada bicaranya pun ikut berubah, kehilangan sentuhan humornya, digantikan oleh bobot kesungguhan yang terasa.