Ruang Diskusi Presiden (Situation Room), Istana Negara
16 November 2044, Pukul 08.30 WIB
Kurang dari dua puluh empat jam setelah Nisa Farha menjatuhkan “bom” legislatifnya di tengah kemeriahan Peringatan Hari Pernikahan Nasional, Situation Room di Istana Negara telah bertransformasi sepenuhnya menjadi pusat komando perang komunikasi. Aroma kopi kental yang baru diseduh bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa diraba di udara dingin ruangan itu. Layar-layar monitor besar yang biasanya menampilkan data ekonomi makro atau peta geografis kini berpendar menampilkan mosaik yang riuh: aliran berita real-time dari ratusan portal daring, grafik analisis sentimen media sosial yang didominasi warna merah (negatif) dan kuning (netral) dengan sedikit percikan hijau (positif), serta daftar trending topic nasional yang bergerak dinamis, dipuncaki oleh tagar-tagar kontroversial seperti #TolakRUUNikahIntervensi, #PresidenAntiAgama, bersaing ketat dengan #ReformasiNikah dan #LindungiKeluargaIndonesia.
Beberapa staf komunikasi dan analisis data tampak hilir mudik membawa map berisi ringkasan laporan atau menyajikan data baru di layar kecil, suara ketikan keyboard terdengar cepat dan konstan. Di tengah ruangan, mengelilingi meja oval besar, duduk Presiden Nisa Farha, Reza Satria (yang sengaja meluangkan waktu pagi itu, menyadari istrinya membutuhkan dukungan moral lebih dari biasanya), Angel Marina, Anton Prasetya, Juru Bicara Kepresidenan Adam Ismail yang selalu tampak tenang, dan beberapa penasihat politik senior. Wajah mereka semua tampak serius, kurang tidur, tetapi fokus.
Angel Marina, dengan tablet di tangannya, memulai paparan paginya. Suaranya terdengar tenang dan profesional seperti biasa, namun data yang ia sampaikan jauh dari menenangkan. “Seperti yang sudah kita antisipasi bersama, Bu Presiden, Pak Reza, Bapak Ibu sekalian, reaksi publik terhadap pidato Ibu Presiden kemarin sangat terpolarisasi dan intensitasnya sangat tinggi," ujarnya sambil menunjuk grafik analisis sentimen di layar utama. "Sentimen di platform media sosial utama seperti X, Instagram, dan Facebook hampir seimbang antara yang pro dan kontra, sekitar 45 persen kontra, 45 persen pro, sisanya netral atau belum teridentifikasi. Namun, volume percakapannya meledak luar biasa dalam 12 jam terakhir."
Ia melanjutkan, menampilkan contoh-contoh unggahan. "Tagar pro seperti #ReformasiNikah dan #LindungiKeluargaIndonesia banyak disuarakan oleh aktivis perempuan, akademisi, beberapa kelompok pemuda, dan individu yang berbagi pengalaman pribadi terkait KDRT atau pernikahan dini. Namun, tagar kontra seperti #TolakRUUNikahIntervensi dan #PresidenAntiAgama juga naik sangat signifikan, terutama setelah digulirkan secara terkoordinasi oleh beberapa grup buzzer anonim dan akun-akun berpengaruh dari kelompok konservatif sejak tadi malam. Narasi utamanya adalah menuduh RUU ini melanggar privasi, adat, dan syariat agama."
Angel beralih ke slide berikutnya yang menampilkan logo-logo media massa nasional. "Media mainstream juga terbelah sangat jelas, Bu," lapornya. "Portal berita A, B, dan C—yang kita tahu cenderung terafiliasi atau memiliki pandangan konservatif—langsung menurunkan opini redaksi dan serangkaian artikel yang mengkritik keras RUU. Mereka mengutip tokoh adat dan beberapa pemuka agama yang menolak, menyebut ini sebagai bentuk intervensi negara yang kebablasan dan akan mengancam nilai luhur keluarga Indonesia. Namun, di sisi lain, portal D, E, F, dan beberapa majalah perempuan ternama justru memberikan ruang luas bagi pendukung gagasan Ibu. Mereka memuat feature mendalam tentang urgensi RUU ini, wawancara dengan psikolog dan sosiolog keluarga, bahkan berhasil mendapatkan beberapa testimoni anonim yang sangat kuat dari korban pernikahan paksa atau KDRT.” Perang narasi di media massa sudah dimulai secara terbuka.
Anton Prasetya mengambil alih, fokus pada reaksi dari kelompok-kelompok terorganisir. "Beberapa organisasi masyarakat berbasis agama besar dan beberapa lembaga adat berpengaruh di daerah sudah mengeluarkan pernyataan pers resmi yang intinya menolak mentah-mentah gagasan RUU ini, Bu," lapor Anton menampilkan beberapa kutipan pernyataan di layar. "Mereka menganggap RUU ini tidak menghormati kemajemukan dan kearifan lokal. Di ranah digital, sebuah petisi daring di platform change.org yang menolak RUU sudah berhasil mengumpulkan hampir 50 ribu tanda tangan hanya dalam waktu kurang dari 24 jam."