Studio MetroTV, Jakarta Barat
Pukul 20.05 WIB
Lampu studio yang terang benderang terasa panas menerpa wajah Adam Ismail. Juru bicara kepresidenan itu berusaha mempertahankan senyum tipisnya yang profesional saat hitungan mundur sutradara di balik kamera menandakan jeda iklan acara talkshow paling bergengsi malam itu, "Suara Bangsa", akan segera berakhir. Di hadapannya, duduk sang pembawa acara, Diana Lubis—jurnalis senior perempuan yang reputasinya terbangun di atas pertanyaan-pertanyaan tajam menusuk dan gaya mewawancara yang seringkali konfrontatif namun tetap elegan. Diana tampak sibuk meninjau beberapa lembar catatan di tangannya, sesekali melirik ke arah Adam dengan tatapan yang sulit ditebak. Adam tahu persis, segmen berikutnya setelah jeda iklan ini akan menjadi bagian paling berat malam ini. Nisa sengaja memintanya tampil sendirian, sebuah strategi untuk menguji kemampuan jubirnya menangani tekanan opini publik secara langsung, sekaligus agar Nisa tidak terkesan “turun gunung” terlalu dini dalam kontroversi ini.
Lampu on air merah di atas kamera utama kembali menyala. Senyum Diana Lubis seketika mengembang sempurna ke arah kamera, menyapa pemirsa di rumah. "Selamat datang kembali di Suara Bangsa, Pemirsa," sapanya ramah namun penuh percaya diri. "Kita masih bersama Bapak Rahmat Ismail, Juru Bicara Kepresidenan. Pak Adam, perbincangan kita semakin menarik. Tadi sebelum jeda kita sudah membahas mengenai resistensi dari berbagai kelompok masyarakat terhadap gagasan RUU Kesiapan Berkeluarga." Ia berhenti sejenak, lalu menatap langsung ke arah Adam. "Sekarang saya ingin bertanya tentang aspek lain yang juga banyak disorot publik. Banyak pihak menilai RUU ini sangat bias kelas. Usulan adanya standar finansial minimal, misalnya, dianggap sangat tidak realistis bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan atau berpenghasilan tidak tetap. Apakah ini berarti Istana secara tidak langsung hanya ingin orang-orang kaya saja yang boleh menikah di negeri ini?"
Pertanyaan itu tajam dan langsung menusuk ke jantung salah satu isu paling sensitif. Adam Ismail menarik napas sejenak, menjaga ketenangannya seperti biasa.
"Terima kasih banyak, Mbak Diana. Pertanyaan yang sangat bagus dan penting untuk kita luruskan bersama agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat," jawabnya dengan suara datar dan terukur, intonasinya terjaga. "Pertama, perlu kami tegaskan kembali bahwa standar finansial yang sempat tercetus dalam gagasan awal itu masih dalam tahap kajian yang sangat mendalam. Pemerintah tentu akan mempertimbangkan konteks sosial ekonomi yang beragam di setiap daerah. Ukurannya pasti akan disesuaikan agar realistis dan tidak memberatkan."
Ia melanjutkan, "Kedua, dan ini yang paling penting, tujuan adanya standar kesiapan finansial dasar itu bukanlah untuk melarang orang miskin menikah, sama sekali bukan. Tujuannya adalah untuk mendorong kesiapan dan kemandirian sebelum membentuk unit keluarga baru. Kita tidak ingin pernikahan justru menjadi pintu masuk ke dalam lingkaran kemiskinan yang lebih dalam lagi. Justru, RUU ini nantinya akan disinergikan dengan berbagai program pemerintah lainnya yang sudah ada untuk membantu calon pasangan mencapai kemandirian ekonomi itu sebelum menikah. Misalnya melalui program pelatihan kerja, bantuan modal usaha mikro dari Kementerian Koperasi UKM, program keluarga harapan, dan lain sebagainya. Jadi, ini justru merupakan ikhtiar negara untuk memutus mata rantai kemiskinan antar-generasi yang seringkali, suka atau tidak suka kita akui, berawal dari pernikahan di usia terlalu muda dengan kondisi ekonomi keluarga yang belum siap."
Diana Lubis mengangguk-angguk kecil, seolah memahami penjelasan Adam, tapi matanya yang tajam masih menyorot penuh selidik. "Tapi Pak Adam," ia melanjutkan serangannya, "bukankah ini, dalam bentuk apapun standarnya nanti, tetap merupakan bentuk intervensi negara yang berlebihan terhadap ranah privat warga negara? Bahkan berkembang isu liar di luar sana, ini pesanan pihak asing? Agenda liberal global untuk merusak tatanan keluarga Indonesia yang religius dan berbudaya luhur?"
Adam tersenyum tipis, senyum khas seorang juru bicara yang sudah terbiasa menghadapi tuduhan tak berdasar. "Mbak Diana yang baik," jawabnya halus namun telak, membalikkan logika pertanyaan itu, "jika upaya negara untuk memastikan anak-anak Indonesia bisa lahir dan tumbuh dari orang tua yang siap secara mental dan finansial, jika upaya melindungi perempuan dari KDRT dan eksploitasi dalam rumah tangga jika upaya membangun keluarga Indonesia yang kokoh sebagai pilar utama kekuatan bangsa itu dianggap sebagai agenda asing atau agenda liberal, saya kira kita semua perlu bertanya kembali pada diri sendiri: agenda ke-Indonesia-an seperti apa yang sebenarnya sedang kita perjuangkan?"