Kamar Tidur Pribadi Presiden, Istana Negara
25 November 2044, Pukul 23.45 WIB
Hening yang menyelimuti kamar tidur megah berornamen ukiran Jepara itu terasa berbeda malam ini. Bukan lagi keheningan damai yang menenangkan setelah seharian penuh berpacu dengan ritme Istana, melainkan keheningan yang berat, yang menyesakkan, sarat akan kata-kata pedas yang tak terucap dan lapisan emosi kusut yang tertahan di udara. Langit-langit tinggi dan permadani tebal seolah ikut menyerap energi negatif yang mengambang.
Nisa Farha duduk bersandar kaku di kepala ranjang. Buku laporan harian yang tadi coba dibacanya kini tergeletak begitu saja di sampingnya, tak tersentuh. Pandangannya kosong, menatap nanar ke arah dinding bercat krem pucat di hadapannya, seolah mencari jawaban di sana, tetapi tak menemukan apa-apa. Cahaya temaram dari lampu nakas di sisinya menimpa wajahnya yang lelah, memperjelas lingkaran hitam tipis yang membayang di bawah matanya—lingkaran yang semakin menebal setiap harinya—dan garis-garis ketegangan halus yang terukir di sekitar bibir dan keningnya, lebih dalam dari biasanya.
Pertarungan RUU Kesiapan Berkeluarga di parlemen dan media telah memasuki minggu kedua yang brutal, tanpa jeda, dan dampaknya kini tak lagi hanya terasa di ruang rapat atau layar berita, tapi mulai merayap masuk, menggerogoti benteng pertahanan terakhirnya: ruang pribadinya bersama Reza.
Pintu mahoni yang menghubungkan kamar tidur dengan ruang kerja pribadi Reza terbuka pelan. Reza melangkah masuk, sudah berganti pakaian santai—kaus polo berwarna navy dan celana panjang katun—namun raut wajahnya masih menyisakan ketegangan dari panggilan telepon terakhirnya dengan tim hukum atau mungkin kolega bisnisnya.
Di tangannya tergenggam sebuah tablet, layarnya masih menyala menampilkan laman artikel dari portal berita https://www.google.com/search?q=KilasIndonesia.com yang diterbitkan beberapa hari lalu—artikel yang sama yang menampilkan foto candid mereka berdansa di acara amal bulan lalu, kini dibingkai dengan narasi sinis dan penuh tuduhan terselubung tentang gaya hidup mewah di tengah penderitaan rakyat. Artikel itu, meski jelas dipelintir, telah dibagikan ribuan kali, memicu gelombang komentar pro-kontra baru yang kini menyerang mereka secara lebih personal.
Reza duduk di tepi ranjang, tetapi mengambil jarak sedikit lebih jauh dari posisi Nisa bersandar. Keheningan yang canggung menggantung di antara mereka selama beberapa saat yang terasa panjang, hanya dipecah oleh detak halus jam antik di dinding. Akhirnya, Reza yang memecah kesunyian itu, suaranya pelan, tetapi terdengar getir, menahan frustasi.
"Sudah lihat lagi ini hari ini? Komentar-komentar di bawahnya makin liar saja, Yang," ujarnya sambil menunjukkan layar tablet itu sekilas ke arah Nisa meskipun ia tahu Nisa mungkin sudah muak melihatnya. "Mereka benar-benar memelintir foto kita di acara amal Charity Club bulan lalu itu jadi seolah kita ini hedonis, tidak punya empati. Mereka sengaja memotong konteksnya."
"Aku sudah lihat, Mas," potong Nisa cepat, nadanya datar, hampir tanpa emosi, matanya masih enggan beralih dari dinding di hadapannya. Ia terlalu lelah untuk membahasnya lagi. Lelah melihat bagaimana momen kebersamaan mereka yang langka dan tulus dipelintir menjadi senjata untuk menyerangnya secara politik. Lelah harus terus menerus menjelaskan dan membela diri dari tuduhan tak berdasar.
Reza menghela napas, merasakan dinding tak kasat mata dalam respons Nisa. "Bukan cuma soal foto itu saja, Nisa," lanjutnya, nadanya kini terdengar lebih cemas. “Tim analisis media sosial melaporkan ada peningkatan signifikan ujaran kebencian yang ditujukan langsung padamu di beberapa platform diskusi anonim. Bahkan, tim keamanan siber mendeteksi beberapa ancaman fisik—meskipun masih anonim—yang cukup meresahkan. Aku jadi khawatir .…"