Ruang Kerja Presiden, Istana Negara
Larut Malam, Menjelang Dini Hari, 28-29 November 2044
Detak jam dinding antik di sudut Ruang Kerja Presiden terdengar menggema memecah keheningan pekat malam itu, setiap tik-taknya seolah menghitung mundur menuju kehancuran yang terasa tak terelakkan. Jarum jam baru saja merayap malas melewati angka dua belas, menandakan hari telah berganti, tetapi bagi Nisa Farha, waktu terasa membeku dalam pusaran keputusasaan yang sama, gelap dan dingin, sejak petang tadi. Badai fitnah dana kampanye ilegal yang dilancarkan portal berita FaktaIndonesia.com telah menghantamnya tepat di jantung integritas, merobohkan semangatnya hingga ke titik terendah.
Cahaya remang dari lampu meja di depannya menjadi satu-satunya sumber penerangan, menyorot wajahnya yang pasi dan kuyu, dipenuhi kelelahan yang begitu dalam hingga terasa ngilu di tulang. Sisa-sisa rapat darurat sore tadi—gelas kopi hitam yang sudah dingin tak tersentuh, tumpukan kertas berisi analisis hukum dan draf strategi komunikasi—masih berserakan di atas meja mahoni, menjadi saksi bisu kerapuhan sang presiden. Tim intinya, Angel dan Anton, beserta para penasihat lainnya, sudah pulang beberapa jam lalu, patuh pada perintahnya untuk beristirahat meski dengan wajah penuh kekhawatiran. Meninggalkan Nisa sendirian dalam kesunyian Istana yang megah, tapi terasa begitu kosong malam ini.
Ia duduk membeku di kursi kebesarannya yang terasa terlalu lapang, bahunya merosot terkulai, tatapannya kosong terpaku pada layar laptop di hadapannya. Halaman berita negatif tentang "skandal" rekayasa itu masih terbuka, menampilkan kembali tuduhan-tuduhan keji yang terasa seperti belati yang terus menerus ditancapkan ke jantung kehormatannya. Di sebelahnya, jendela notifikasi media sosial menampilkan tagar #Skandallstana dan #PresidenPengkhianat yang masih ramai diperbincangkan, meskipun perlawanan dari para pendukung setianya melalui tagar #LawanFitnahPresidenNisa juga mulai terlihat merangkak naik. Akan tetapi, Nisa tahu, kerusakan citra itu, keraguan yang telah ditabur di benak publik, sudah terlanjur terjadi.
Gagal. Kata itu bergema tanpa suara di benaknya. Aku gagal. Semua energi yang ia kerahkan sepanjang hari untuk menunjukkan topeng ketenangan dan ketegasan di depan timnya, kini lenyap tak bersisa. Yang tertinggal hanyalah kerapuhan asli seorang Nisa Farha, seorang wanita yang merasa dunianya runtuh berkeping-keping. Ia bahkan sempat, dalam puncak keputusasaannya tadi, membuka sebuah folder lama di komputernya, berisi arsip tulisan-tulisan inspiratif yang pernah ia bagikan di blog pribadinya bertahun-tahun silam, nasihat untuk para perempuan lajang agar menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri sebelum mencari pasangan. Betapa ironisnya sekarang. Ia yang dulu begitu lantang bicara tentang kemandirian emosional, kini merasa begitu hampa, begitu bergantung pada harapan dan dukungan dari luar yang terasa sirna.
Sendiri ... pada akhirnya aku merasa begitu sendiri di puncak kekuasaan ini, bisik hati Nisa getir. Kelelahan yang membekapnya terasa begitu total, fisik dan mental, mencekik pernapasannya. Bayangan gelap di sudut-sudut ruangan kerja yang luas itu seolah menebal, menari-nari mengejek ketidakberdayaannya. Mereka menyerang Reza, menyerang integritasku. Mereka berhasil memisahkan kami, meretakkan benteng kami. Apakah sepadan? Semua perjuangan ini ... RUU Kesiapan Berkeluarga yang ia yakini begitu penting itu .... Mungkin memang lebih mudah jika aku ... mundur saja? Menyerah pada tekanan brutal ini? Mengakui kekalahan?
Pikiran untuk menyerah itu terasa begitu menggoda, menawarkan sebuah jalan keluar instan dari rasa sakit, malu, dan tekanan yang terasa tak tertahankan lagi. Mengakhiri semua ini. Kembali ke kehidupan yang lebih tenang, jauh dari intrik politik kejam.
Namun, seketika, sebelum pikiran itu sempat mengakar lebih dalam, bayangan wajah "Sarah"—gadis muda korban pernikahan paksa yang testimoninya sempat viral dan menyentuh hatinya—melintas begitu saja di benaknya. Diikuti bayangan wajah gadis dalam berita yang memilih mengakhiri hidupnya. Lalu bayangan wajah-wajah perempuan lain yang mengiriminya surat atau pesan dukungan, yang menggantungkan harapan pada RUU itu. Bayangan anak-anak yang masa depannya bergantung pada keluarga yang sehat dan siap. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka semua? Bagaimana dengan para perempuan itu? Anak-anak itu? Pertanyaan itu menghantamnya. Haruskah aku meninggalkan harapan mereka hanya karena aku terluka? Hanya karena aku takut? Pertanyaan itu menggantung berat di udara malam yang dingin, tanpa jawaban pasti. Nisa memejamkan matanya rapat-rapat, merasakan air mata panas kembali mengancam akan tumpah. Ia merasa begitu lelah, begitu kalah, terjebak dalam dilema yang meremukkan jiwa.