Ruang Sidang Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta
5 Desember 2044, Pukul 14.00 WIB
Inilah dia. Momen penentuan itu akhirnya tiba. Ruang Sidang Paripurna yang megah, jantung demokrasi bangsa, hari itu terasa sesak bukan kepalang. Bukan hanya oleh kehadiran ratusan anggota dewan yang memenuhi kursi-kursi kehormatan mereka yang berlapis kulit cokelat tua, tetapi juga oleh ketegangan yang menggantung begitu pekat di udara, nyaris bisa dirasakan seperti medan listrik statis. Balkon-balkon di lantai atas penuh sesak oleh para staf ahli yang berbisik tegang, tamu undangan khusus dari berbagai lembaga, dan barisan jurnalis foto serta televisi dengan lensa-lensa kamera yang siaga penuh, siap merekam setiap detik dari apa yang mereka yakini akan menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam legislasi Indonesia modern.
Di salah satu sudut balkon VVIP yang menghadap langsung ke panggung pimpinan sidang, Reza Satria duduk tegap. Jas abu-abu gelapnya tampak kontras dengan wajahnya yang sedikit pucat karena tegang. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan, buku-buku jarinya memutih. Matanya tak pernah lepas dari sosok Nisa yang duduk tenang di deretan kursi pemerintah di lantai bawah. Di sebelahnya, Angel Marina terlihat meremas jemarinya berulang kali, sedangkan Anton Prasetya duduk sama tegangnya, sesekali membetulkan letak kacamatanya, doa-doa sunyi terucap dalam hati mereka bertiga. Mereka telah melalui minggu-minggu yang terasa seperti bertahun-tahun—perdebatan sengit di komisi, lobi-lobi politik tanpa henti di belakang layar, badai fitnah keji di media, dan gelombang dukungan publik yang bangkit secara tak terduga. Kini, semua bermuara pada hari ini.
Hari ini adalah jadwal pengambilan keputusan tingkat II untuk RUU Kesiapan Berkeluarga. Nasib akhir dari sebuah gagasan yang lahir dari keprihatinan seorang presiden atas tragedi sunyi di sudut desa, yang kemudian berkembang menjadi pertarungan ideologi nasional, akan ditentukan di ruangan ini.
Sesuai tata tertib persidangan, sebelum proses pengambilan keputusan akhir melalui voting atau musyawarah dimulai, Presiden Republik Indonesia diberikan kesempatan terakhir untuk menyampaikan pandangan akhir pemerintah.
Saat nama Presiden Nisa Farha dipanggil oleh Ketua DPR yang memimpin sidang dengan suara beratnya, seluruh mata di ruangan itu seketika tertuju padanya. Keheningan yang tadi sedikit pecah oleh bisik-bisik kini kembali menyelimuti ruangan.
Nisa bangkit dari kursinya dengan gerakan yang tenang dan terukur. Hari ini, ia memilih mengenakan setelan blazer lengan panjang berwarna merah marun yang tegas, dengan potongan yang tetap mempertahankan kesan feminin dan elegan. Blazer tersebut dipadukan dengan kemeja atau blus dalaman berwarna netral berwarna putih yang menutup hingga leher. Bawahannya adalah rok panjang pallazo atau model pipa lurus berwarna merah marun senada yang sopan. Hijabnya ditata dengan gaya formal dan rapi berwarna netral yang harmonis seperti abu-abu muda, mencerminkan wibawa dan keseriusan acara. Penampilannya dilengkapi dengan bros minimalis yang disematkan pada blazer atau hijabnya. Langkah kakinya terdengar mantap di atas karpet tebal saat ia menaiki beberapa anak tangga menuju podium utama yang terbuat dari kayu jati solid, berukir lambang negara Garuda Pancasila di bagian depannya. Tidak ada jejak keraguan sedikitpun dalam setiap geraknya, meskipun ia bisa merasakan degup jantungnya sendiri berpacu lebih cepat dari biasanya di dalam dada. Ia tahu, pidato ini bukan hanya sekadar formalitas penutup. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk meyakinkan mereka yang masih ragu, untuk melawan narasi sesat yang telah dibangun lawan-lawannya, untuk membela visinya sekaligus membersihkan namanya di hadapan seluruh bangsa.
Saat ia berdiri tegak di balik podium, menatap lautan wajah para wakil rakyat di hadapannya, ruangan menjadi hening seketika. Kilatan cahaya blits kamera menyambar bertubi-tubi selama beberapa detik pertama, lalu berhenti atas isyarat petugas keamanan. Semua menunggu. Menunggu suara sang Presiden.
"Yang terhormat Ketua, para Wakil Ketua, dan segenap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia," Nisa memulai pidatonya, suaranya terdengar tenang, jernih, dan berwibawa, menggema melalui sistem pengeras suara hingga ke sudut terjauh ruangan. "Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu yang hadir, para tamu undangan sekalian, serta seluruh rakyat Indonesia di mana pun berada yang menyaksikan sidang terhormat ini melalui siaran langsung."
Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh kekuatan dan fokusnya. "Kita semua berada di sini hari ini, di lembaga perwakilan rakyat yang mulia ini, untuk bersama-sama mengambil sebuah keputusan penting. Keputusan tentang sebuah Rancangan Undang-Undang yang telah menyita begitu banyak energi, perhatian, perdebatan, bahkan air mata bangsa selama beberapa waktu terakhir: Rancangan Undang-Undang tentang Kesiapan Berkeluarga."
"Namun," lanjut Nisa, tatapannya kini terasa lebih tajam, menyapu deretan kursi di blok oposisi yang tampak gelisah, "sebelum kita masuk ke substansi akhir dari Rancangan Undang-Undang tersebut, izinkan saya terlebih dahulu menggunakan kesempatan yang terhormat ini untuk mengklarifikasi secara langsung, di hadapan Dewan yang terhormat dan seluruh rakyat Indonesia, mengenai tuduhan-tuduhan yang sangat serius dan sama sekali tidak berdasar yang telah dialamatkan kepada saya secara pribadi."