Situation Room, Istana Negara
5 Desember 2044, Beberapa Jam Setelah Sidang Paripurna
Waktu terasa merayap seperti siput di dalam Situation Room Istana Negara yang dingin dan senyap. Jarum jam besar di dinding seolah enggan bergerak maju, menambah siksaan penantian yang terasa mencekik. Di ruangan yang biasanya penuh dengan hiruk-pikuk analisis data, grafik yang bergerak cepat, dan pengambilan keputusan strategis itu, kini hanya ada keheningan yang tegang, dipenuhi antisipasi yang nyaris menyakitkan.
Presiden Nisa Farha, Reza Satria, Angel Marina, dan Anton Prasetya duduk terpaku mengelilingi meja oval besar. Mata mereka semua tak berkedip, terkunci pada layar datar raksasa di dinding yang menayangkan siaran langsung tanpa jeda dari Gedung Parlemen di Senayan. Proses voting dan penghitungan suara untuk pengambilan keputusan tingkat II RUU Kesiapan Berkeluarga telah berlangsung alot selama beberapa jam terakhir, diwarnai interupsi, perdebatan sengit tentang mekanisme, dan lobi-lobi terakhir yang menegangkan hingga detik-detik akhir.
Nisa duduk diam membisu, kedua tangannya bertaut erat di atas pangkuan hingga buku-buku jarinya memutih. Kelelahan mendalam setelah memberikan pidato pembelaan yang menguras emosi tadi pagi terlihat jelas di wajahnya yang pucat. Setiap otot di leher dan bahunya terasa kaku. Namun, di balik lapisan kelelahan itu, ada secercah harapan yang coba ia pelihara dengan susah payah, harapan pada hati nurani para wakil rakyat. Reza duduk tegak di sampingnya, satu tangannya tak pernah lepas menggenggam lembut tangan Nisa di bawah meja, menyalurkan kekuatan dalam diam yang terasa begitu nyata. Angel tak henti-hentinya meremas jemarinya sendiri, bibirnya komat-kamit melafalkan doa tanpa suara. Sementara itu, Anton, yang biasanya paling analitis dan tenang, sesekali terlihat mengecek arlojinya dengan gerakan gugup, seolah tak sabar menanti kepastian. Tak ada yang berani bersuara, takut memecah keheningan yang begitu rapuh dan sarat penantian itu. Setiap bunyi notifikasi pesan singkat dari tim lobi Istana di parlemen atau suara ketukan palu sidang yang terdengar dari layar televisi membuat mereka semua tersentak kaget.
Lalu, setelah penantian yang terasa seperti selamanya, momen itu tiba. Pimpinan sidang paripurna di layar televisi muncul kembali setelah skors singkat untuk rekapitulasi akhir suara, wajahnya tampak serius dan sedikit lelah. Ia memegang selembar kertas hasil penghitungan resmi. Ruangan Situation Room terasa semakin senyap, udara seolah berhenti bergerak, semua napas seolah tertahan di tenggorokan.
"... dengan ini, setelah memperhatikan pandangan akhir seluruh fraksi dan pemerintah, serta berdasarkan hasil pemungutan suara yang telah dilaksanakan secara terbuka dan saksama," suara pimpinan sidang menggema berat dari pengeras suara televisi, setiap katanya terasa begitu lambat, "kami sampaikan hasil akhir pemungutan suara Rancangan Undang-Undang tentang Kesiapan Berkeluarga ...."