Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #21

Paviliun Pribadi Presiden

Paviliun Pribadi Presiden

Beberapa Minggu Kemudian

Kemenangan di parlemen memang membawa kelegaan luar biasa dan suntikan moral yang sangat dibutuhkan bagi Nisa, Reza, dan seluruh tim Istana. Gema peristiwa bersejarah itu masih terasa. RUU Kesiapan Berkeluarga kini resmi menjadi undang-undang. Namun, seperti ombak besar yang surut setelah badai, ia meninggalkan puing-puing di pantai – dalam hal ini, puing-puing emosional dan retakan dalam hubungan Nisa dan Reza yang perlu dibereskan dengan hati-hati.

Mereka berdua sadar betul, dengan kejernihan menyakitkan yang lahir dari pengalaman pahit di titik nadir, bahwa sekadar selamat dari badai dahsyat tidak serta-merta berarti kapal pernikahan mereka kembali utuh dan siap berlayar seperti sediakala. Ada retakan-retakan halus akibat pertengkaran hebat yang dipicu kesalahpahaman fatal, akibat fitnah keji yang menyerang kehormatan mereka, yang perlu ditambal dengan kesabaran, komunikasi tulus, dan usaha sadar dari kedua belah pihak. Ada sistem navigasi internal – cara mereka berkomunikasi saat berada di bawah tekanan ekstrem, cara mereka menjaga kepercayaan saat diserang dari luar, cara mereka mengelola konflik tanpa saling menyakiti lebih dalam – yang perlu dikalibrasi ulang secara fundamental.

Mereka belajar dengan cara yang paling keras bahwa cinta saja, sebesar dan sedalam apapun itu, ternyata tidak cukup untuk bertahan hidup di tengah pusaran kekuasaan yang kejam dan tekanan publik yang tanpa ampun. Dibutuhkan lebih dari sekadar perasaan; dibutuhkan kerja keras sadar yang terus-menerus, komitmen aktif untuk saling menjaga dan merawat hubungan, serta kesepakatan untuk menemukan dan menjaga ritme baru yang disepakati bersama. Ritme yang memungkinkan cinta mereka tidak hanya bertahan, tapi juga bertumbuh semakin kuat dan bijaksana di tengah badai yang mungkin akan datang lagi.

Salah satu perubahan pertama yang mereka terapkan, yang tampak sederhana namun berdampak besar, adalah pada ritual sarapan pagi mereka di paviliun. Dulu, sarapan seringkali menjadi momen sambil lalu, terburu-buru di antara jadwal yang padat, diisi dengan membaca berita di tablet atau mengecek email bisnis. Kini, mereka membuat aturan tak tertulis yang sakral: tiga puluh menit pertama setiap pagi, dari jam enam tiga puluh sampai jam tujuh, meja makan kecil di sudut paviliun mereka adalah zona bebas gawai, zona bebas pembahasan pekerjaan, zona bebas keluhan tentang politik atau staf. Hanya ada mereka berdua, secangkir kopi hitam Gayo untuk Reza, secangkir teh melati hangat tanpa gula untuk Nisa, dan obrolan ringan tentang hal-hal di luar Istana.

"Alex kemarin cerita di telepon, dia mulai serius riset soal beasiswa ke Jerman," Nisa berbagi cerita suatu pagi, senyum tipis terulas di bibirnya. "Katanya tertarik sama jurusan environmental engineering di sana."

"Oh ya? Bagus itu," sahut Reza, meletakkan cangkir kopinya. "Anak itu memang punya kepedulian besar soal lingkungan. Tapi Jerman? Jauh juga ya. Siap LDR sama anaknya nih, Bu Presiden?" goda Reza.

Nisa tertawa kecil. "Ya mau gimana lagi. Asal dia bahagia dan mengejar mimpinya, kita dukung aja kan? Lagipula, teknologi sekarang canggih, bisa video call tiap hari."

"Iya sih," Reza mengangguk. "Nanti kita bantu cari info soal kampusnya bareng-bareng kalau dia sudah lebih mantap."

Percakapan ringan seperti itu, tentang anak mereka, tentang film komedi romantis terbaru yang ingin mereka tonton bersama (“Yang ratingnya bagus di Rotten Tomatoes, jangan yang aneh-aneh lagi kayak pilihanmu minggu lalu, Za," canda Nisa), tentang kelakuan lucu kucing liar berwarna oranye yang sering mampir minta makan di taman paviliun ("Jangan terlalu sering dikasih makan, nanti dia malah jadi keenakan nggak mau cari makan sendiri," nasihat Reza yang bijak), atau sekadar mengomentari bunga anggrek bulan baru berwarna ungu pekat yang akhirnya mekar setelah berbulan-bulan dirawat Reza dengan telaten ("Tanganmu itu memang ajaib ya kalau urusan tanaman," puji Nisa tulus).

Awalnya terasa sedikit canggung, sedikit dipaksakan, seperti memaksakan ketenangan artifisial di tengah jadwal yang selalu terasa menggila. Namun, perlahan, ritual sederhana ini menjadi sauh bagi mereka berdua. Menjadi momen berharga untuk saling menatap mata tanpa gangguan layar, untuk benar-benar hadir satu sama lain, untuk memulai hari dengan koneksi emosional yang positif sebelum badai pekerjaan dan politik menerjang di sisa hari.

Lihat selengkapnya