Malam Hari, Beberapa Bulan Kemudian (Pertengahan Tahun 2045)
Langit Jakarta malam itu membentang jernih dan murah hati, taburan bintang tampak berkelip lebih terang dari biasanya di antara pendar cahaya kota yang samar di kejauhan. Seolah semesta turut merayakan sebuah momen istimewa yang tergelar dalam keheningan syahdu taman belakang Istana Negara. Beberapa bulan telah berlalu sejak Nisa dan Reza secara sadar mulai menenun kembali ritme harmoni dalam pernikahan mereka, membangun ulang jembatan kepercayaan yang sempat retak, dan menemukan kedamaian baru setelah melewati badai politik dan fitnah terkejam. Implementasi RUU Kesiapan Berkeluarga terus berjalan dengan dinamikanya sendiri, tetapi fokus malam ini sepenuhnya berbeda.
Malam ini adalah perayaan ulang tahun Nisa Farha yang ke-55. Sebuah tonggak pascausia emas yang signifikan, dirayakan persis seperti yang ia inginkan: jauh dari hingar bingar protokoler kenegaraan yang kaku, jauh dari sorotan ratusan kamera media yang seringkali terasa invasif. Hanya sebuah perayaan intim dan bersahaja di sudut taman belakang paviliun pribadi mereka, tempat yang telah menjadi saksi bisu suka duka perjalanan mereka.
Taman itu disulap menjadi sebuah negeri dongeng kecil yang hangat. Tidak ada panggung megah atau dekorasi berlebihan yang mencolok mata. Hanya lampu-lampu taman yang berpendar lembut seperti kunang-kunang di antara pepohonan rindang berdaun lebat. Beberapa lampion kertas berwarna krem dan emas lembut digantung rendah di dahan-dahan pohon flamboyan yang sedang tak berbunga, menciptakan suasana magis yang tenang dan intim. Meja-meja bundar kecil ditata apik dengan taplak putih bersih sederhana, dihiasi rangkaian bunga baby's breath putih dan sedap malam yang menebarkan aroma wangi lembut khas malam hari, berpadu dengan aroma barbeque ringan dari sudut katering kecil. Alunan musik jazz instrumental yang dipilih Reza secara khusus – Miles Davis, John Coltrane – mengalun pelan dari pengeras suara tersembunyi, menjadi latar bagi suara percakapan akrab dan tawa riang yang sesekali terdengar lepas tanpa beban.
Yang hadir malam ini hanyalah lingkaran terdalam Nisa, orang-orang yang paling berarti dalam pusaran hidupnya yang kompleks. Ada Reza Satria, tentu saja, berdiri tak jauh darinya hampir sepanjang waktu, selalu siap dengan senyum hangat, tatapan penuh cinta yang kini terasa lebih dalam dan tenang, serta lengan kokoh yang siap merangkul kapan saja. Ada anak mereka, Alexander Damar Satria, yang kini sudah di kelas 2 SMA, bangga berada di tengah perayaan ibunya. Ada beberapa sahabat karib Nisa sejak masa kuliah di Jogja dulu, teman-teman seperjuangan aktivisnya yang persahabatannya tak lekang oleh waktu dan perubahan status Nisa, mereka membawa serta cerita-cerita lucu memalukan dari masa lalu yang selalu berhasil membuat Nisa tertawa terbahak. Serta tentu saja, tim inti Istana yang telah menjadi seperti keluarga kedua baginya – Angel Marina yang setia dan kini tampak sedikit lebih rileks, Anton Prasetya yang analitis, tetapi malam ini lebih banyak tersenyum, Adam Ismail sang Jubir yang selalu tenang, dan beberapa staf kunci lainnya yang telah setia menemaninya berjibaku melewati badai terberat beberapa waktu lalu. Mereka semua hadir bukan karena jabatan, tetapi karena ikatan personal yang tulus.
Nisa sendiri terlihat sangat berbeda malam ini, seolah lapisan beban berat yang biasanya menyelimutinya terangkat sepenuhnya. Ia mengenakan gaun panjang sederhana (maxi dress) berlengan panjang berwarna gading gajah yang lembut, bahannya linen berkualitas tinggi yang jatuh dengan anggun, memancarkan ketenangan. Sebagai pelengkap, sebuah selendang tipis atau pashmina berwarna senada tersampir anggun di bahunya atau dililitkan dengan gaya yang kasual, tetapi tetap manis di leher hijabnya. Riasannya tipis natural, hanya menonjolkan kecantikan alaminya yang matang. Hijabnya berwarna pastel lembut lainnya, ditata dengan gaya yang santai dan tidak kaku. Wajahnya tampak lebih muda malam ini.
Yang paling mencolok adalah ekspresi wajahnya. Jejak kelelahan akibat pertarungan politik sengit beberapa bulan lalu memang belum sepenuhnya sirna jika diperhatikan lekat-lekat – ada garis-garis halus di sekitar mata dan bibirnya yang menceritakan kisah perjuangan. Namun, kini, semua itu tertutupi oleh binar kebahagiaan yang tulus dan murni, senyum yang lebih lepas, tawa yang lebih renyah, dan raut wajah yang jauh lebih rileks, lebih damai dibandingkan bulan-bulan penuh ketegangan sebelumnya. Ia tertawa lepas mendengar lelucon Anton tentang birokrasi yang lamban, berbincang akrab dengan Angel tentang rekomendasi buku terbaru, sesekali menggoda Alex tentang pacar barunya, atau sekadar mendengarkan dengan penuh perhatian cerita nostalgia sahabat-sahabat lamanya. Malam ini, cahaya hangat benar-benar terasa kembali menyinari dirinya dari dalam, sebuah cahaya yang sempat meredup, tetapi tak pernah padam.
Acara berlangsung santai dan penuh keakraban. Dimulai dengan doa syukur bersama yang dipimpin oleh seorang ustaz sahabat keluarga Reza sejak lama, memohon keberkahan usia, kesehatan, dan kekuatan bagi Nisa untuk terus mengemban amanah dan mengabdi pada bangsa. Dilanjutkan dengan momen pemotongan kue ulang tahun sederhana – kue cokelat truffle kesukaan Nisa sejak dulu yang sengaja dipesan Reza dari patisserie kecil langganan mereka, bukan kue tart megah berlapis-lapis khas acara pejabat. Prosesi tiup lilin dan potong kue diiringi nyanyian "Selamat Ulang Tahun" yang penuh semangat dan sedikit fals dari semua yang hadir, termasuk Reza yang menyanyi paling keras dan paling sumbang, membuat Nisa tertawa geli.
Beberapa sahabat lama bergantian memberikan pidato singkat dan personal. Tidak ada pidato formal yang memuji jabatan atau kebijakannya. Yang ada hanyalah cerita-cerita lucu tentang kenakalan Nisa di masa kuliah ("Ingat nggak, Nis, waktu kita nekat manjat pagar kampus malam-malam cuma buat ambil buku ketinggalan?"), kenangan manis tentang awal pertemanan mereka ("Pertama kali lihat Nisa presentasi di forum diskusi, langsung kagum sama keberanian dan otaknya yang encer!"), dukungan tulus atas perjuangannya melewati badai politik ("Kami selalu bangga padamu, Nis, kamu inspirasi kami semua."), diselingi canda yang membuat Nisa tertawa terbahak, hingga sedikit air mata haru saat mereka mengenang masa-masa sulit yang pernah dilalui bersama sebelum Nisa mencapai posisinya saat ini.
Kado-kado yang diberikan pun sederhana namun penuh makna personal. Sebuah buku edisi pertama yang langka dari salah satu penulis favorit Nisa yang dihadiahkan sahabatnya sesama pecinta sastra. Syal kasmir hangat berwarna biru laut rajutan tangan Angel sendiri ("Agar Ibu tidak kedinginan lagi kalau sedang merenung sendirian di balkon malam-malam," guraunya, merujuk pada kebiasaan Nisa). Atau sebuah kolase foto digital berisi momen-momen candid Nisa bersama tim inti Istana selama setahun terakhir – termasuk foto-foto saat mereka semua tampak lelah dan stres di tengah krisis RUU – yang dibuat khusus oleh Anton dan staf Istana lainnya sebagai pengingat bahwa mereka selalu ada bersama dalam suka dan duka. Nisa menerima semuanya dengan senyum lebar dan mata berbinar haru, mengucapkan terima kasih yang tulus berkali-kali. Momen-momen sederhana inilah yang mengingatkannya pada harta sesungguhnya di tengah tekanan kekuasaan: persahabatan sejati dan kesetiaan tanpa syarat.
Tiba giliran Reza untuk berbicara, memberikan toast singkat. Ia melangkah maju ke tengah lingkaran kecil tamu yang kini berkumpul lebih dekat, berdiri di samping Nisa, satu tangannya merangkul bahu istrinya dengan lembut dan protektif. Ia mengangkat gelas berisi jus apel segar – minuman favorit Nisa – yang baru saja dibagikan oleh pramusaji. Semua mata kini tertuju padanya, senyum penuh antisipasi tersungging di wajah para tamu, menebak-nebak kata-kata manis atau jenaka apa lagi yang akan keluar dari mulut First Gentleman yang terkenal romantis sekaligus humoris ini.
"Untuk Nisa-ku tersayang …," Reza memulai, suaranya terdengar hangat dan dalam, penuh cinta, namun ada nada jenaka yang familiar di dalamnya, membuat Nisa sedikit waspada sambil tersenyum geli. "Presiden Republik Indonesia yang hebat luar biasa," lanjutnya, menatap Nisa lekat dengan tatapan memuja. "Istri terbaikku yang pernah ada di muka bumi ini, Ibu yang paling penyayang dan paling sabar untuk anak kita, Alex," ia berhenti sejenak, senyumnya melebar, matanya mengerling jahil, "... dan ...partner ‘api asmara terkencang' terbaik yang pernah kumiliki dalam hidup ini!"
Sontak tawa meledak di antara para tamu yang sebagian besar sudah paham candaan pribadi pasangan itu, merujuk pada celetukan Reza dalam wawancara ulang tahun pernikahan ke-19 mereka yang sempat viral dan menjadi running gag di antara lingkaran dekat mereka. Nisa sendiri tertawa lepas sambil menyikut pelan pinggang suaminya, pipinya sedikit merona merah karena malu sekaligus geli. Momen ini terasa seperti déjà vu yang hangat dari perayaan pernikahan mereka bertahun-tahun lalu, tetapi kini terasa lebih dalam maknanya setelah semua badai yang mereka lalui.
Reza ikut tertawa, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tulus, lebih dalam, tatapannya kini hanya tertuju pada Nisa, penuh kebanggaan dan cinta yang meluap hingga terasa oleh semua yang hadir. "Selamat ulang tahun yang ke-55, Sayang. Setengah abad lebih yang luar biasa." Suaranya sedikit serak oleh emosi. "Dan tahun-tahun terakhir ini ... kamu sudah melewati badai yang begitu besar, ombak yang begitu tinggi, fitnah yang begitu kejam, tapi kamu gak pernah goyah lebih dari sesaat, kamu selalu bangkit lagi, kamu tetap berdiri tegak memimpin, bahkan kini terasa jauh lebih kuat, lebih bijaksana dari sebelumnya. Aku ... aku gak bisa lebih bangga lagi sama kamu."
Ia menatap mata Nisa dalam-dalam, menyampaikan ketulusan hatinya. "Tapi ingat ya, Bu Presiden yang terhormat dan tercinta," tambahnya cepat, kembali ke nada jenakanya yang khas, mencoba mencairkan suasana haru yang mulai terasa kental. "Meskipun badai sudah lewat dan ritme baru sudah ditemukan, jangan lupa sesekali istirahat yang cukup. Belajar lagi mendelegasikan tugas kalau perlu, jangan semua dipikirin sendiri. Dan ingat," ia mendekatkan wajahnya sedikit, berbisik jenaka hanya untuk telinga Nisa, "sesekali, makan donat cokelat meses kesukaanmu itu tidak dosa, kok! Jangan terlalu keras pada diri sendiri ya, Sayang."