Istana Penuh Bara

Shabrina Farha Nisa
Chapter #25

Frekuensi Baru Kehidupan

Balkon Paviliun Pribadi Presiden, Istana Negara

Akhir Oktober 2048 (Empat Tahun Setelah Voting RUU)

Empat tahun. Sebuah rentang waktu yang jika diukur dari dentang jam dinding Istana terasa berlalu begitu cepat dalam pusaran rapat kenegaraan, kunjungan diplomatik, dan perumusan kebijakan yang tak berkesudahan.

Namun, jika diukur dari kedalaman luka yang pernah menganga, dari fondasi kepercayaan yang nyaris runtuh lalu dibangun kembali bata demi bata, empat tahun terasa seperti sebuah keabadian yang penuh pembelajaran, transformasi, dan penemuan kembali makna.

Malam ini, di balkon paviliun pribadi mereka yang menghadap ke taman Istana yang kini diterangi cahaya bulan purnama hampir sempurna, Nisa Farha dan Reza Satria berdiri berdampingan dalam keheningan yang nyaman. Tempat yang sama di mana Nisa pernah berdiri sendirian dalam puncak keputusasaannya empat tahun silam, ditemani alunan melankolis The Corrs dan bayangan keraguan yang gelap. Tempat yang sama di mana Reza pernah berlutut, menawarkan jangkar dukungan tanpa syarat di tengah badai fitnah terkejam. Tempat yang sama di mana mereka akhirnya memulai percakapan sulit untuk menambal retakan di benteng pernikahan mereka.

Kini, udara malam terasa berbeda. Lebih ringan, lebih jernih. Langit Jakarta, meski tak pernah lepas dari polusi cahaya, malam ini tampak lebih berbintang dari biasanya. Kerlip jutaan lampu kota di kejauhan terhampar seperti permadani berlian di atas beludru hitam, pemandangan yang sama seperti malam-malam sebelumnya, tetapi kini mereka melihatnya dengan kacamata pengalaman, kebijaksanaan, dan kedamaian batin yang berbeda.

Nisa, yang kini berada di penghujung masa jabatan pertamanya sebagai Presiden, menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Reza yang kokoh. Garis-garis halus di sekitar matanya mungkin sedikit lebih jelas dibanding empat tahun lalu, rambut hitamnya kini diselingi beberapa helai uban perak yang berkilau di bawah cahaya bulan – jejak waktu dan beban tanggung jawab yang tak terhindarkan. Namun, sorot matanya kini memancarkan ketenangan dan kedalaman yang tak dimiliki Nisa yang lebih muda. Api semangatnya masih menyala terang, tapi kini lebih stabil, lebih fokus, tidak lagi mudah terbakar oleh provokasi murahan.

Reza merangkul bahu istrinya dengan erat, dagunya bertumpu lembut di puncak kepala Nisa. Uban perak di pelipisnya juga tampak lebih banyak, tetapi senyumnya kini lebih sering tersungging tulus, lebih cepat kembali setelah menghadapi riak-riak kecil serangan media atau sindiran politik yang sesekali masih muncul. Ia telah belajar mengendalikan reaksinya, memilih pertempurannya dengan bijak, dan menemukan kekuatan dalam ketenangan batin, persis seperti prinsip let them be yang dulu sering Nisa coba ajarkan padanya.

"Dua puluh tiga tahun pernikahan kita minggu depan, Sa," bisik Reza pelan, memecah keheningan yang damai itu, suaranya dalam dan penuh kehangatan. "Dan hampir lima tahun kamu memimpin negeri ini. Rasanya ... seperti baru kemarin kita berdiri di sini, di awal masa jabatan pertama, penuh mimpi besar dan ... mungkin sedikit terlalu naif tentang seberapa kejamnya dunia politik ini bisa jadi."

Nisa tersenyum kecil, mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap wajah suaminya dalam cahaya remang balkon. "Ya," jawabnya lirih. "Kita udah melewati begitu banyak hal bersama, Za. Jauh lebih banyak roller coaster emosi daripada yang pernah aku bayangkan saat pertama kali memutuskan maju." Ia menghela napas panjang, tetapi kali ini napas lega, bukan napas lelah atau putus asa. "Badai politik yang tak berkesudahan, tsunami fitnah yang nyaris menenggelamkan kita, petir kontroversi dari setiap kebijakan baru, bahkan bisikan-bisikan beracun dari ular berbisa di lorong Istana ini sendiri." Ia merujuk pada Rahmat Iskandar, yang kini namanya hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah internal Istana mereka.

Ia terdiam sejenak, menatap kembali ke arah kerlip lampu kota di kejauhan, merenung. "Implementasi RUU Kesiapan Berkeluarga itu sendiri," lanjutnya, "ternyata benar dugaanku dulu. Jauh lebih sulit daripada sekadar memenangkan voting di DPR. Mengubah mindset yang sudah mengakar ratusan tahun, melawan resistensi kultural di daerah-daerah terpencil, memastikan anggaran cukup dan tidak diselewengkan, melatih ribuan konselor dan asesor ... Pekerjaan rumahnya masih sangat panjang, Za. Kadang aku merasa kemajuannya lambat sekali." Ada nada lelah dalam suaranya saat membahas pekerjaan, tapi tidak ada keputusasaan di sana.

Lihat selengkapnya