Jakarta, 2048
Empat tahun telah berlalu sejak hari yang menegangkan di Gedung DPR itu, hari di mana palu diketuk menandai lahirnya Undang-undang Kesiapan Berkeluarga. Di balkon paviliun Istana yang kini terasa lebih damai, Nisa Farha—memasuki tahun keempat masa jabatan pertamanya—dan Reza Satria menatap cakrawala Jakarta yang perlahan berubah. Badai politik dan fitnah keji yang nyaris menghancurkan mereka terasa seperti gema jauh, sebuah luka yang telah sembuh menjadi pengingat akan kekuatan cinta dan ketahanan.
Perjuangan Nisa dan timnya, dipicu oleh keprihatinan mendalam atas kerapuhan keluarga Indonesia—dari pernikahan dini yang merenggut mimpi hingga lingkaran KDRT dan kerapuhan mental generasi muda—mulai menunjukkan buahnya, perlahan, tetapi pasti. Implementasi UU Kesiapan Berkeluarga, meski penuh tantangan di lapangan, telah menanamkan benih perubahan fundamental.
Data Kuantitatif Keberhasilan Awal (tahun 2048):
* Penurunan Angka Perceraian Dini: Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penurunan 18% angka perceraian pada pasangan yang menikah di bawah lima tahun (pasca-UU berlaku) dibandingkan data pra-UU, dikaitkan dengan meningkatnya kesiapan mental-emosional dan finansial berkat asesmen dan edukasi pranikah wajib.