Sesuatu di jiwanya mungkin telah hancur, sampai ribuan maaf tidak dapat menghapusnya
-Khalil Gibran-
Bohong.
Ridwan hanya membawa satu botol minuman dari kamar hotelnya. Tidak ada botol kedua seperti yang dia bilang kepada Asma, dia hanya khawatir melihat Asma yang kelelahan terlebih setelah tahu Asma pergi sendirian. Nekat sekali, Ridwan membatin, tetapi sekaligus semakin mendorong rasa penasarannya terhadap Asma.
Namun, sejak awal Ridwan memang sudah penasaran karena perbedaan foto paspor Asma dengan sosok Asma yang dia lihat sekarang. Apalagi setelah tahu Asma ternyata adik tingkatnya, Ridwan kembali mengingat-ingat, mungkin dulu mereka sempat berinteraksi di kampus?
Sambil jalan, Ridwan berusaha mengingat sosok Asma yang ada di dalam paspornya. Perasaannya bilang, memang itulah wajah asli Asma yang pasti tidak jauh berbeda saat mereka masih kuliah dulu. Namun, ingatan Ridwan seperti kosong melompong.
Ridwan akhirnya tiba di Tangga Air, sebuah bangunan tangga dengan saluran air di sisi kanan dan kiri yang biasanya berfungsi sebagai pegangan tangan. Saluran itu mengalirkan air dingin yang deras dari puncak tangga menuju ke bawah. Namun, tiba-tiba saja Ridwan ragu untuk melangkah, padahal satu kakinya sudah menginjak anak tangga paling bawah.
“Ridwan!”
Ridwan terkejut, lalu membalikkan badan. Dia melihat ternyata Asma sudah berada tidak jauh di belakangnya. Ridwan langsung tersenyum, entah kenapa hatinya bisa lega melihat Asma lagi.
“Hai. Ketemu lagi disini,” ucap Ridwan sambil menurunkan kakinya dari anak tangga. “Apa saya bilang. Jalan bareng aja yuk!”
“Oke.”
“Tapi, bisa naik tangganya? Kaki kamu nggak apa-apa?” tanya Ridwan matanya masih tertuju ke arah sepatu Asma, menatapnya dengan tidak yakin.