Aku berasal dari sana dan aku mempunyai kenangan
-Darwish-
Pagi itu, Ridwan berdiri gugup di trotoar di seberang San Rafel Hospital yang sangat artistik seperti hampir semua bangunan publik di kota ini. Dia dilanda kegelisahan hebat sepanjang minggu ini. Ridwan, hampir tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Asma sejak chat terakhir mereka. Namun, Ridwan pun juga tidak antusias menanggapi belasan chat atau telpon dari Isabel. Pembicaraannya dengan Faisal sebelumnya seperti membuat perasaannya terus menerus terombang-ambing dalam pusaran kebimbangan.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa...wa’alaikumsalam,” Ridwan otomatis menoleh, terkejut mendengar sapaan seseorang.
“Hai,” sapa Ridwan kemudian sambil tersenyum, ketika melihat Asma sudah berada di sebelahnya.
Wajah Asma masih sama, tersembunyi dibalik riasan bold yang melapisi wajahnya. Sesaat rasanya Ridwan seperti melamun membayangkan wajah asli Asma dan wajah Asma di masa lalu yang diingatnya. Hari ini, Asma memakai setelan pakaian lebih santai yaitu baju kaus lengan panjang, kulot, dan flat shoes.
“Lagi ngelamun ya? Saya sapa dari tadi lho, tapi baru nyadar sekarang,” ucap Asma sambil menatap Ridwan dengan raut wajah menyelidiki.
”Oh... ya...? Ya, mungkin agak ngantuk aja sih. Semalam ngerjakan laporan dengan teman-teman,” jawab Ridwan sekenanya. Ada benarnya juga, tetapi sebagian waktunya juga habis dipakai untuk mencari tahu hal lain.
“Oya, ini sepatunya dan kaus kaki kamu semua udah saya laundry. Jadi, semua udah bersih dan wangi lagi!”
“Astaga,” ucap Ridwan terkejut. “Repot-repot banget. Seharusnya, biarin kotor aja nggak apa-apa sih, udah kotor lama juga.”
“Nggak apa-apa kok, kan sebagai ucapan terimakasih,” Asma membalas.
“Yah... okelah,” kata Ridwan sambil meraih bungkusan dari tangan Asma. “Oya, ini punya kamu.” Sekarang ganti Ridwan mengeluarkan sepasang angkle boot milik Asma yang juga terbungkus di dalam plastik bening. “Maaf saya nggak sempat cuci.”
“Nggak perlu kok. Nggak kamu pakai juga, kan?”
Keduanya menatap, lalu menyengir bersama. Lalu mereka terdiam.
“Ya udah Wan, terimakasih banyak repot-repot ke sini dari Plaza. Kalau gitu saya pamit...”
“Kamu mau kemana?” tiba-tiba Ridwan memotong ucapan Asma.
“Em... eh, ya balik ke apartemennya Karina,” jawab Asma dengan wajah bingung.
“Oh.”
Asma bisa melihat raut kecewa di wajah Ridwan. Asma sendiri sebenarnya tidak lupa, dia belum lupa, tetapi dia pura-pura lupa.