Istana Terakhir

Lasabica
Chapter #12

Chapter #12

Seperti orang asing, aku mengamatimu dari jauh dan aku tersenyum melihatmu bahagia meski hati ini membara. Entah aku harus bagaimana.

-Darwish-

Mereka sempat berkeliling menelusuri Alcaiceria atau oleh para turis lebih dikenal dengan Arabic Market yang semarak oleh warna-warni cinderamata unik yang dijual, tetapi mereka tidak membeli apa-apa. Bagi Ridwan dia lebih merasa ingin meresapi lagi segala sesuatu yang ada di Granada, kini dia menyadari bahwa ada dua budaya yang memang sangat kontras hidup dan berpusar di Granada. Katedral dan Alcaiceria hanyalah salah satunya. Kristen dan Islam, Eropa dan Arab, menyatu di pusaran kehidupan masyarakat Granada.

Bagi, Asma, dia mencoba meresapi bahwa permintaan Zaid kepadanya lebih dari sekedar jalan-jalan biasa. Bukan sekadar berkelana untuk mencapai surga di depan mata tetapi, seperti perkiraan Ridwan tadi, ada sesuatu yang lain yang Zaid ingin Asma dapatkan di dalam Alhambra.

Setelah itu, supir taksi membawa mereka ke sekitar Plaza Nueva, menurunkan keduanya di dekat situs lain: Alhamam Al Andalus atau oleh orang Eropa lebih dikena dengan sebutan El Banuelo. Situs itu berupa sebuah tempat pemandian umum yang luas. Sayang, kolam-kolam dan pancuran airnya kini telah kosong tanpa air. Mereka tidak lama disana karena jam berkunjung yang hampir habis, serta para petugas yang sangat disiplin untuk meminta pengunjung segera mengakhiri perjalanannya.

Supir taksi itu bilang perjalanan Asma dan Ridwan sudah berakhir disana dan meminta ongkosnya, lalu segera melesat pergi meninggalkan keduanya. Ridwan menatap Asma. Lalu, apa sekarang?

“Masih ada waktu sebelum senja,” ucap Asma setelah memeriksa langit dan jam di ponselnya bergantian.

“Saya antar kamu ke Grand Vía sekarang kalau mau pulang,” Ridwan menyahut.

Namun, Asma bergeming.

“Kamu belum cerita soal pacar kamu, kan?”

“Ah,” Ridwan akhirnya ingat. Perjalanannya hari ini bersama Asma, juga pembicaraan mereka soal sejarah Granada membuat Ridwan sama sekali tidak memikirkan Isabel.

“Dimana enaknya kita ngobrol?” Ridwan memasukkan tangan ke saku celana, sambil memutar badan mencari-cari tempat yang tepat.

“Ada jalan di sepanjang Carrera del Darro atau Sungai Darro di dekat sini. Karina pernah bilang, disana juga tempat yang populer buat jalan-jalan turis,” Asma mengusulkan.

“Oke, kita kesana aja ya!”

Ridwan kemudian mempersilahkan Asma untuk jalan lebih dulu.

Ketika mereka melewati Carrera del Darro, Ridwan menduga bahwa jalanan berbatu di sepanjang tepian sungai yang letaknya jauh di bawah adalah salah satu peninggalan sejarah juga karena sekilas tidak tampak bahan-bahan modern dari pembuatannya. Namun, dia tidak tahu apakah jalan itu sudah di bangun ketika kerajaan Islam berdiri di Granada atau dibangun setelah penaklukan Granada. Di sepanjang kanan dan kiri Carrera del Darro saat ini pun sudah di penuhi oleh bangunan-bangunan penduduk yang modern.

Langit yang tadinya berwarna kebiruan pun perlahan didatangi warna-warna jingga dan pink. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara musik yang berasal dari petikan gitar.

Recuerdos de la Alhambra.”

“Apa?” Ridwan merasa tidak yakin mendengar kata-kata Asma.

Recuerdos de la Alhambra. Memories of Alhambra, judul musik yang kedengaran itu,” Asma berkata sambil mengangkat ke dua tangannya ke udara.

Ridwan yang masih bingung dan keheranan kemudian berusaha menajamkan telinganya. Sayup-sayup dia mendengar bunyi petikan gitar yang lambat. Nadanya mengalun seperti membawa suasana yang sedih dan muram.

“Apa itu?” Ridwan masih tidak mengerti.

Lihat selengkapnya