Sesungguhnya hidup adalah tali temali, utang rasa bagi siapapun yang perasaannya masih bekerja
-Sujiwo Tejo-
Asma tidak berkomentar setelah Ridwan selesai bercerita. Mereka terdiam seperti sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Kedua tangan Asma bersidekap, dia menyandarkan diri di dinding pembatas sekaligus pelindung jalan dengan tebing sungai di bawah.
Dari sudut pandang Asma sekarang, Ridwan benar-benar terlihat seperti orang yang bingung dan terpukul. Dia orang jujur, Asma membatin, sambil melihat menilai Ridwan yang berdiri dengan ekspresi gelap di depannya.
“Berapa lama kalian pacaran?” Asma bertanya memecah diamnya mereka.
Kedua bola mata Ridwan terangkat ke atas, menghitung-hitung di kepalanya. “Lumayan lama. Saya juga nggak langsung pacaran sama dia. Sekitar tiga tahun kenal, terus saya mutusin untuk nyatakan perasaan. Tapi, hubungan kita juga bisa dibilang nggak terlalu lancar. Isabel jelas sibuk dengan kuliahnya, saya juga sibuk dengan urusan pribadi saya sendiri.” Ridwan menghembuskan napas di ujung kalimat ketika mengingat kisahnya sendiri.
“Kita mulai kompromi lagi soal hubungan waktu Isabel berangkat ke Lombok untuk koas. Tapi... saya rasa itupun karena orangtua saya setuju dengan hubungan kami berdua.”
Asma mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tapi... setidaknya kamu masih punya perasaan kan sama dia? Seperti waktu pertamakali kamu jatuh cinta dengan dia?”
Ridwan mengerucutkan mulut, seperti tidak yakin dengan jawaban yang akan dia berikan ke Asma.
“Maksud saya, kalau hubungan kamu dan Isabel sudah jauh sampai orangtua merestui, itu berarti sudah ada komitmen di dalam hati kamu....”
Gelengan kepala Ridwan memotong kalimat Asma.
“Asma.”
“Ya?”
“Kamu mau tahu pertama kali saya ketemu dan kenal Isabel gimana?”
Asma menganggukkan kepalanya. “Tentu aja.”
Ridwan membetulkan tali ranselnya untuk meredam rasa gelisah yang mulai muncul. Lalu, perlahan dia mulai menceritakan kejadian malam tahun baru di Hola Cafe hampir sebelas tahun lalu. Mulanya, Asma diam tak bergerak, lalu matanya membesar, lama-lama kedua tangannya turun terkulai di samping tubuhnya. Dia menatap Ridwan tak berkedip.
“Kamu waitress di Hola Cafe kan dulu?”
Asma tidak bergerak atau menjawab. Dia merasa jiwanya melayang entah kemana. Ridwan berdiri di depannya sambil memegang sebelah tali ransel yang menggantung di bahunya, pada akhirnya dia tidak berani menatap wajah Asma jadi dia mengarahkan matanya ke lantai bebatuan di bawah.
“Ap...apa hubungannya itu dengan Isabel?” Asma akhirnya mampu mengeluarkan suara.
Ridwan kembali menatap Asma sekarang.