Jika kau bertanya padaku berapa kali kau datang dalam pikiranku. Maka, akan kukatakan padamu: “satu kali saja. Karena kau datang dan tidak meninggalkanku”
-Rumi-
Asma masih merenungi pertemuannya hari ini dengan Ridwan di sofa putih apartemen Karina. Angkle boot-yang sudah dikeluarkan dari bungkusan plastik, tergeletak diam di sudut ruangan. Asma menekuk lutut dan meletakkan kepala di atasnya. Hijabnya dilepas jika berada di dalam apartemen.
Perlahan, Asma mengelus kulit wajahnya, dari pelipis sampai sudut bibir. Asma tidak bisa melihat wajahnya tanpa kaca, tetapi dia seolah masih bisa merasakan bekas-bekas itu disana: Pandu membeturkan dahinya ke tembok, Pandu menghajarnya seperti dia menghajar sesama lelaki, Pandu yang menyita semua nafkah bulanan yang dikirimkan Om Irwan untuk Asma... Lalu kenangan sebelas tahun lalu samar-samar muncul. Asma menegakkan tubuhnya, dia merasa jantungnya berdebar dan tubuhnya gemetar. Malam itu akhirnya muncul kembali di kepala Asma sejelas baru kemarin terjadi.
Saya menyesal...
Beri saya kesempatan...
Isabel satu-satunya orang yang terkait dengan kejadian itu...
Asma memejamkan matanya. Ya Allah, bisiknya dalam hati. Takdir memang selalu tak pernah terduga. Kalau bukan karena Mas Zaid... Asma lantas seperti disadarkan sesuatu: sejak tiba di Granada dia sama sekali belum pernah menghubungi Zaid karena terlalu fokus dengan surga itu. Sekarang, saatnya Asma harus menghubunginya, Asma ingin mengaku dia menyerah dan lelah, Asma ingin bilang kepada Zaid kalau dia gagal menemukan surga itu. Asma ingin menyudahi semuanya!.
Akhirnya, tangan Asma terulur mengambil ponselnya di ujung kakinya yang kuku-kuku jarinya terkoyak. Pandu pernah menindas jari-jari itu dengan kaki kursi sampai kuku-kukunya koyak dan terlepas dari dagingnya. Berawal karena Asma ketahuan oleh orangtua Pandu bekerja sebagai waitress kafe. Tentu saja mereka heran, karena orangtua Pandu mengira selama ini Asma selalu meneriman nafkah bulanan yang orangtua Pandu kirimkan, nafkah yang seharusnya menjadi tanggungjwab Pandu.
Asma dan Pandu ribut besar ketika orangtua Pandu pulang dari rumah mereka sehabis menginterogasi Pandu. Dengan kelihaian Pandu berbohong dan ancamannya terhadap Asma, Ayah dan Ibunya bisa menerima kalau Asma bekerja part time sebagai waitress karena sekedar mencari pengalaman di luar rumah.
Namun, Pandu tetap tidak terima. Dia menghajar Asma, dan menyiksa habis-habisan ketika Asma mencoba kabur, menyelamatkan dirinya sendiri dari rumah neraka itu.
Ketika layar ponsel itu baru saja menyala di depan wajah Asma matanya membesar. Ada sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal masuk di kotak pesan. Gemetar, Asma membukanya:
Aku dapat laporan dari orang-orangku kau pergi ke luar negeri! Kenapa kabur?! Apa karena kamu membocorkan rahasiaku di rumah itu? Atau kamu sudah lapor polisi? Jangan senang dulu! Aku bisa menemukanmu dimanapun kamu berada!
Tubuh Asma semakin bergetar hebat. Apartemen Karina sepi karena Karina ada kelas sampai malam hari. Asma hampir menjatuhkan ponsel itu ke sofa, tetapi dia berusaha sekuat tenaga menggenggamnya kembali dan membuka aplikasi chat. Dengan susah payah, Asma mengetikkan sebuah pesan ke seseorang:
Ridwan, tolong saya!
***
Faisal terbangun dari tidurnya, rasanya dia seperti melihat cahaya redup berkilau dari sudut kamar. Setelah susah payah membujuk kelopak matanya agar terbuka, Faisal berhasil melihat sosok gelap duduk di kursi menghadap layar laptop yang menyala.
Ridwan?
Dengan susah payah pula Faisal bangun, bertumpu pada sikunya supaya bisa melihat lebih jelas. Itu benar Ridwan, dia tampak sedang sibuk membuka-buka berbagai situs di peramban.
“Ngapain...kamu...?” Faisal bertanya, suaranya serak khas orang baru bangun tidur.
Tak ada jawaban. Faisal pun bangun dengan dengan perasaan setengah jengkel, terhuyung dia berjalan mendekati Ridwan, dan mata Faisal pun melotot.
“Masih aja ngurusin si Asma?!” tanyanya kaget melihat situs-situs tentang Alhambra yang terpampang di layar laptop Ridwan.
Ridwan menghentikan kegiatannya, dia bersandar di punggung kursi tanpa menatap Faisal.
“Kamu kenapa sih?”
Ridwan masih membisu.
Faisal kemudian meremas bahu Ridwan. “Bisa kasi aku alasan yang bisa diterima sama akalku nggak?”
“Asma butuh bantuan, Sal.”