Semua jalan menuju kepadamu. Bahkan jalan yang pernah aku ambil untuk melupakanmu
-Darwish-
Sebelum Granada jatuh ke tangan Nasrani Eropa, kondisi Islam di Eropa sudah mulai tidak kondusif. Banyak teori yang menyebutkan kemunduran kekhalifahan Islam yang berdiri sepanjang semenanjung Iberia tersebut[7]: salah satu kekalahan paling awal di Las Navas de Tolosa; kekuatan militer kekhalifahan yang melemah karena pasukan Aragon dan Navarre maju bersama raja mereka, di tambah dengan pasukan militer Alvonso VIII dari Portugal yang membawa sebagian Tentara Salib dari Perancis; dan para penguasa Muslim di Iberia yang saling berebut kekuasaan karena lunturnya akidah dan spiritualitas para raja-raja Muslim sehingga takut mati dan takut kehilangan kekuasaan ketika menghadapi peperangan dengan kerajaan-kerajaan Nasrani Eropa di sekelilingnya. Karena itu ketika akhirnya kota-kota utama kekhalifahan seperti Cordova pun berhasil direbut musuh, maka kejatuhan itu diikuti pula oleh Valencia, Sevilla, dan Toledo. Setelah kota-kota itu jatuh, Nashriyah dari Granada pun akhirnya menjadi satu-satunya wilayah yang masih bertahan dan menonjol sebagai representasi terakhir dari otoritas muslim.[8]
Granada masa itu terbagi menjadi tiga provinsi besar[9] yaitu Granada sebagai Ibukota, Almeria, dan Malaga, yang menjadi pelabuhan terbesar di Spanyol Selatan pada masa itu. Pada masa beridir
inya Kesultanan Granada inilah, pengaruh Islam di Iberia masih bisa dipertahankan selama 250 ratus tahun kemudian. Bani Ahmar, penguasa utama Granada memiliki slogan dan prinsip manajemen kesultanan yang sangat dikenal dalam sejarah yaitu Laa Galibu Illallah (Tiada Penakluk Selain Allah), tulisan yang menjadi hiasan kaligrafi di seluruh penjuru dinding Alhambra. Tulisan itu dinilai sangat sangat ikonik pada Alhambra karena menjadi lambang semua aspek kehidupan dilandaskan kepada Tuhan. Segala bentuk kegiatan, aktivitas, dan ilmu pengetahuan didasari atas ketakwaan dan ibadah kepada Allah sehingga pada akhirnya Granada menjadi salah satu kota dengan ilmu pengetahuan dan teknologi paling maju dalam sejarah benua Eropa.
“Ada yang nggak aku ngerti,” ucap Asma setelah mendengarkan uraian panjang lebar Ridwan dengan kening berkerut. “Kenapa, Granada justru maju ketika kesultanan menerapkan aturan ketat soal agama? Sangat kontradiktif dengan zaman sekarang. Dimana, suatu negara atau wilayah yang menerapkan aturan ketat agama atau syariat dianggap radikal dan berbahaya."
Ridwan berpikir sejenak. “Mungkin, di zaman itu penerapan syariat tidak sekaku sekarang, lebih di dasarkan pada hal yang halal dan haram, dosa dan pahala, atau surga dan neraka, tapi lebih kepada urusan hubungan hati terhadap Tuhan. Di zaman itu seperti yang saya bilang tadi, di zaman kejatuhan Cordova, Sevilla, dan Toledo khalifah-khalifahnya saat itu kehilangan spiritualitas: kepercayaan kepada Allah, lebih memikirkan urusan duniawi daripada akhirat. Mereka menjadi lemah dalam perang karena tidak yakin lagi Tuhan bersama mereka. Mereka tidak percaya akan balasan dan pahala Tuhan saat menghadapi musuh, mereka terlena dengan kegemilangan di kota-kota itu: takut kehilangan kekuasaan dunia dan lupa dengan surga yang dijanjikan Allah.”
“Tapi, disisi lain khalifah-khalifah penerus di Granada ternyata masih memiliki iman yang tinggi dan memegang teguh prinsip agama Islam yang sangat kuat. Contohnya: Ketika kita melakukan segala sesuatunya karena Allah, entah itu perang, ibadah, sekolah, atau bekerja, maka Allah akan memberikan ganjaran pahala dan surga kelak di akhirat, bukan di dunia.”
Asma menjadi diam seribu bahasa mendengar penjelasan Ridwan. Ridwan pun ikut diam. Jujur saja kini nurani terdalam Ridwan sangat terusik. Baru kali ini dia mempelajari sesuatu karena niat yang dalam, dan sesuatu itu ternyata seperti membawa pencerahan baru baginya, sekarang Ridwan merasa ini bukan lagi soal Asma. Ini juga persoalan dirinya, dengan Tuhan!
“Asma,” Ridwan membuyarkan renungan Asma.
“Hm?”
“Saya pun tidak terlahir dari keluarga yang sangat religius. Malah, kami beribadah mungkin hanya disaat-saat seremonial tertentu. Sejak kecil, Ayah dan Ibu saya jarang bicara soal agama di rumah.”
Asma menatap Ridwan seperti merasa memahami keresahan pria itu.
“Saya juga,” sahut Asma.
“Kesuksesan dan kesempurnaan yang ditunjukkan dan diajarkan oleh orangtua saya adalah keberhasilan dalam pendidikan dan karir,” Ridwan melanjutkan.
“Saya juga,” Asma masih menyahut dengan gumaman lirih. “Mungkin, itu sebabnya kenapa, ketika ayah saya mendapat masalah di pekerjaannya, beliau langsung jatuh dan sulit untuk bangkit,”