Hari-hari telah mengajarkan engkau untuk tidak mempercayai kebahagiaan, karena akan terasa sangat menyakitkan jika itu menipu
-Darwish-
Mereka kembali menikmati malam di Plaza Nueva di kafe yang sama. Faisal menyesap kopi panasnya pelan-pelan. Perasannya ikut terganggu setelah mendengar cerita Ridwan dari Albaicin
“Sekarang coba kita ingat-ingat lagi, Sal, kejadian sebelas tahun lalu itu,” Ridwan akhirnya bicara lagi setelah lama membisu.
“Hanya kita berdua yang tahu identitas Isabel malam itu karena kita perlu nganterin dia pulang kan? Kamu yang membuka tasnya dan menemukan KTP berikut kartu mahasiswa Isabel. Isabel juga yang memberitahu kita alamat kos dan nomor telpon penjaga kosnya malam itu. Setelah itu...”
“....setelah kita mengantarkan Isabel ke kos kita langsung pulang,” Faisal memotong kata-kata Ridwan. “Kita nggak pernah sempat mengenalkan diri ke Isabel, dia seharusnya nggak tahu nama kita, seharusnya nggak tahu juga kita mahasiswa atau bukan. Kalaupun tahu... seharusnya dia nggak tahu kita anak kampus atau fakultas mana.”
“Malam itu dia mabuk, kan? Apa ada orang mabuk bisa ingat sejelas itu wajah orang-orang yang menolongnya?” Ridwan melanjutkan.
Faisal memijat kepalanya.
“Darimana Isabel tahu?” bisik Faisal bingung.
“Cuma satu kesimpulanku,” Ridwan berkata sambil menerawang ke jalanan plaza yang ramai.
“Apa?”