Istana Terakhir

Lasabica
Chapter #22

Chapter #22

... kebalikannya diisi oleh takdir, yang putusannya jarang sesuai dengan keinginan kita

-Nizami Givani-

Selama satu jam lebih Zaid duduk mendengarkan semua cerita Ridwan. Ridwan tidak melewatkan kesempatan itu untuk menceritakan sedetail mungkin semua hal yang dia lakukan bersama Asma.

“Ya betul, itu memang pernah terjadi,” ucap Zaid ketika Ridwan sampai pada beberapa bagian cerita yang memang Zaid alami sendiri.

Ketika Ridwan mengakhiri ceritanya, Zaid melepaskan kacamatanya, meletakkannya di meja lalu mengusap wajahnya yang memerah. Ada genangan air yang jelas terlihat di kedua matanya.

“Maafkan saya, Mas Ridwan,” tutur Zaid setelah berusaha menghapus genangan air itu dari matanya dan memasang kembali kacamata di wajah. Saat itu Ridwan menyadari sebuah cincin perak yang terpasang di jari manis kanan pria itu. Zaid sudah menikah, Ridwan membatin.

“Saya ke kantor dulu sebentar, Mas Ridwan tolong tunggu disini. Hari ini saya akan izin keluar kantor, supaya ada yang menggantikan pekerjaan. Kalau boleh hari ini sekalian saya mau mengajak Mas Ridwan ketemu adik saya,Karina.”

“Baiklah,” ucap Ridwan, semangatnya kembali naik.

Zaid pun beranjak meninggalkan Ridwan sendirian di sofa. Tak lama, dia kembali lagi, jas hotelnya sudah di lepas, Zaid ganti memakai kemeja putih bergaris yang lengannya tergulung hingga siku, membuat kesan formalnya hilang.

Ridwan kemudian mengikuti Zaid menuju mobilnya yang diparkir di halaman khusus karyawan. Setelah mereka naik, Zaid mengemudikan mobilnya keluar dari hotel.

“Mas Zaid, boleh saya tanya soal Asma dan Pandu?” Ridwan bertanya setelah mobil Zaid berjalan mulus di jalan beraspal yang melewati tebing dengan pemandangan laut di sisi kanannya.

“Zaid aja Mas, kita sudah banyak ngobrol seperti teman sendiri.”

“Yah, baiklah. Panggil sesama nama aja kalau begitu.”

“Silahkan mau tanya tentang apa?”

“Asma pernah melaporkan tindakan Pandu kepada orangtuanya?”

“Orangtua Asma?”

“Ya.”

“Pernah,” jawaban Zaid disertai dengan helaan napas berat. “Namun, menurut cerita Asma, orangtuanya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ayahnya sudah sakit-sakitan, dan ibunya cuma ibu rumahtangga biasa. Kakak laki-lakinya juga sudah lama pergi tanpa kabar. Asma tidak pernah tahu kemana dia.”

Ridwan terdiam.

“Satu-satunya yang bisa Asma anggap keluarga disini hanya saya dan keluarga saya. Kami pun begitu terhadap Asma.”

“Ya. Asma pernah bilang.”

Lihat selengkapnya