Ruang tamu itu hening selama beberapa saat. Ridwan duduk tak bergerak di tempatnya, kelopak matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Kalau ada yang lebih hebat dari petir yang menyambar, itulah yang Ridwan rasakan sekarang.
“Tapi...” Ridwan tidak sanggup meneruskannya kata-katanya dengan tenggorakan yang tersumbat. “Ta...tapi... saya benar-benar melihat wujudnya. Dia bersama saaya sepanjang waktu di Granada, dan dia hidup.”
Zaid menyorongkan cangkir teh ke arah Ridwan. “Minum dulu. Supaya dirimu bisa tenang,” gumamnya.
Namun, Ridwan tidak bergerak. Dia malah merogoh ponsel di saku celana jeans-nya, dia menggenggam ponsel itu di tangan kanannya selama beberapa detik lalu membuka aplikasi chat disana. Ridwan menundukkan kepala menatap room chat -nya dengan Asma selama di Granada. Baris-baris chat itu masih disana, pesan balasan dan obrolan dengan Asma masih jelas terbaca disana lengkap dengan tanggal dan bulannya.
Ridwan menyodorkan ponselnya ke arah kedua kakak beradik itu. “Bagaimana dengan ini?” tanyanya dengan suara berbisik.
Zaid mengambil ponsel milik Ridwan lalu membaca semua obrolan Ridwan dan Asma disana, Karina yang ikut duduk di sebelah Ridwan pun ikut membaca dengan mata terbelalak. Kemudian, tanpa berkata apa-apa dia mengembalikan ponsel itu ke Ridwan lalu kembali menoleh ke adiknya.
“Rin, ponsel Asma masih ada, kan?”
“Ya...ya...ma...sih,” ucap gadis itu terbata-bata.
“Tunjukkan ke Ridwan, sekalian bawa berkas-berkas Asma,” Zaid menambahkan.
Karina pun beranjak lagi ke dalam, tak lama kemudian dia keluar membawa sebuah amplop coklat yang sudah lusuh beserta sebuah ponsel lawas. Zaid meraih semua itu dari tangan Karina dan meletakkannya di meja di antara cangkir-cangkir tehnya dan Ridwan.
“Beritahu Ridwan soal ponsel Asma,” Zaid menyuruh adiknya.
Karina menelan ludah sebelum mulai bicara,
“Waktu Kak Asma meninggal, tidak ada satupun keluarganya yang datang atau bisa dihubungi, jadi saya dan Kak Zaid berinisiatif membereskan semua barang-barangnya dari rumah lama kesini. Maksudnya supaya kalau sewaktu-waktu keluarganya datang dan mencari kami bisa memberikan barang-barang peninggalan ini.”
Ridwan menunggu Karina melanjutkan.
“Tapi... selama enam tahun ini nggak ada satupun keluarga Kak Asma yang datang, sampai suatu hari...” Karina seperti ragu untuk melanjutkan. “Suatu hari... waktu saya beres-beres di kamar tiba-tiba ponsel Kak Asma menyala karena ada panggilan,” Karina berhenti sejenak, wajahnya campuran sedih dan ketakutan.
Ponsel Asma sudah lama mati karena tidak diisi dayanya, tapi hari itu anehnya baterai ponsel Asma sudah terisi penuh. Jadi, Karina benar-benar shock ketika melihat ponsel Asma menyala karena ada panggilan masuk. Tangan Karina gemetar hebat ketika meraih ponsel lawas itu dan menatap layarnya ketika sebuah panggilan masuk pada tanggal dan bulan yang sama dengan panggilan Ridwan ke nomor Asma.