Terkadang, aku pun ikut menari bersama-Mu
-Rumi-
Masih ada banyak hal yang ingin Ridwan bicarakan dengan kedua kakak beradik itu, Ridwan pun tahu Zaid merasakan hal yang sama. Namun, sore sudah berubah menjadi senja, dan Zaid menawarkan untuk mengantarkan Ridwan kembali ke hotelnya di tengah kota.
“Sampai berapa lama Ridwan disini?” Zaid bertanya ketika dia, Ridwan, dan Karina melangkahkan kaki keluar dari kompleks pemakaman itu.
“Mungkin dua atau tiga hari lagi saya balik ke Jogja. Konferensi ilmiah yang saya ikuti nggak lama.”
Zaid menganggukkan kepalanya.
“Kalau masih ada waktu bisa kabari saya? Saya traktir makan malam di pinggir pantai.”
Ridwan langsung mengangguk. “Baiklah,” katanya setuju.
Lalu, Zaid dan Karina mengantarkan Ridwan kembali ke hotelnya, dimana Faisal sudah menunggu di lobi hotel. Ketika, Faisal melihat Ridwan datang dengan ekspresi wajah yang tak bisa ditebak, sambil membawa sesuatu di tangannya, Faisal tidak bertanya apa-apa. Dia mengikuti sahabatnya itu kembali ke kamar mereka. Disana, Ridwan melempar diri di kasur, amplop cokelat yang dibawanya tergeletak di sebelah tubuhnya, isinya hampir berserakan keluar.
“Apa ini?” tanya Faisal kaget sambil memungut berkas-berkas itu. Tak lama matanya melotot membaca isi berkas-berkas di dalamnya beserta foto-foto.
“Ap...apa ini, Wan?” tanya Faisal bingung bercampur takut. “Asma? Enam tahun yang lalu! Jadi...”
Ridwan menganggukkan kepalanya lalu dia menutup wajah, kedua sikunya bertumpu di atas paha. Kepalanya rasanya berat sekali seperti mau pecah.
Faisal lalu ikut duduk disebelah Ridwan, meremas pundaknya.
“Ini benaran?”
Ridwan membuka tangan, lalu meremas kepalanya. “Entahlah. Semuanya sepertinya nyata. Asma yang aku lihat di Granada adalah wujud yang nyata.”
Faisal menarik napas lalu merenung. “Tapi... kalau dipikir-pikir, cuma kamu yang lihat Asma, Wan.”