Istana Terakhir

Lasabica
Chapter #30

Chapter #30

Bangunlah pada fajar dengan hati yang bersayap dan berikanlah terimakasih kepada Tuhan untuk satu hari lagi untuk mencintai-Nya

-Kahlil Gibran-

Bagi Ridwan dia melalui malam itu seperti menaiki mesin waktu. Dia seperti berjalan di sebuah lorong yang panjang dengan kecepatan kilat sehingga rasanya tubuhnya tak sempat merasakan apa yang dia alami. Tidak ada waktu untuk memberitahu Isabel atau siapapun alasannya bisa berada disana tepat saat kejadian itu terjadi. Namun, dia bersyukur kehadirannya disana pada akhirnya membuat Pandu dan Isabel tidak bisa melakukan intervensi kepada Zaid untuk menolong Asma.

Zaid sedang duduk di kursi kayu di samping tenda darurat IGD yang sepertinya baru saja dibuat sedanya, saat dokter senior keluar dari ruang IGD dan memberitahu bahwa Asma masih bisa diselamatkan. Pisau itu hanya membuat lecet pergelangan tangan Asma karena diperkirakan irisannya meleset.

“Di satu sisi gempa ini adalah penyelamat untuk pasien Asma. Tuhan masih memberi kesempatan untuknya,” tutur dokter senior itu sambil bernapas lega. “Kemungkinan ketika dia hendak mengiris tangannya, gempa terjadi, lalu plafon runtuh menimpa kepala pasien, itulah yang menyebabkan pasien tak sadarkan diri. Irisan itu tidak berhasil. Darah itu berasal dari luka-luka di kaki dan tangannya yang sudah lebih dulu ada.”

Pandu tidak berada disana sewaktu dokter senior itu menjelaskan kepada Zaid yang menunggu dan mengaku kalau dia adalah keluarga dari Asma. Ridwan yang hanya mengawasi dari jauh pun sempat heran karena dokter senior itu langsung menjelaskannya kepada Zaid, padahal paling tidak dokter itu tahu kalau Asma adalah istri Pandu, salah satu dokter koas di tempatnya. Otak Ridwan kembali berpikir, dia menduga dokter senior itu juga sudah curiga dengan kondisi Asma saat ini, sehingga dia tidak langsung mengatakannya di depan Pandu.

“Ridwan.”

Ridwan menoleh mendengar panggilan pelan dari Isabel yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Wajah gadis itu datar, tak ada ekpresi apapun disana. Ridwan tidak menyahut, dia masih mengawasi dokter senior itu memberi penjelasan kepada Zaid.

“Sayang,” Isabel mengulangi panggilannya, dan tiba-tiba saja Ridwan merasa muak. Dia menoleh menatap Isabel dengan sorot mata yang dingin. Isabel terlihat langsung gentar di bawah tatapan Ridwan.

“Ka...kamu...kenapa bisa langsung ke...rumah....Pandu...?” Isabel sepertinya menguatkan dirinya sendiri untuk menanyakan hal itu kepada Ridwan.

Ridwan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menatap Zaid yang terus mengangguk-angguk mendengar penjelasan dokter.

“Sulit untuk aku jelaskan sekarang,” akhirnya Ridwan menjawab.

Lihat selengkapnya