Hatiku bukan milikku juga bukan milik siapapun. Ia telah terpisah dariku tanpa berubah menjadi batu
-Darwish-
Bagian lain yang paling sulit Asma hadapi adalah pertemuan dengan Pandu dan kedua orangtuanya. Mau tidak mau kedua orangtua Pandu harus tahu semua kejadian yang dialami Asma selama ini.
Wajah Bapak Anggota Dewan Irwan Hanggoro mengeras ketika dia tiba di ruang perawatan Asma, sementara istrinya, Dewi Anindya, wajahnya datar tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya memperlihatkan tingkat stress yang dialaminya selama beberapa hari terakhir ini. Pandu tidak menatap Asma sedikitpun ketika mengantarkan kedua orangtuanya di dampingi oleh seorang dokter senior yang selama ini menangani Asma di rumah sakit.
Beberapa saat ruangan itu hanya dipenuhi oleh kesunyian, sampai akhirnya pintu kembali terbuka dan Ridwan masuk bersama seorang laki-laki berjas seumuran Ridwan yang datang langsung dari Yogyakarta. Beliau adalah salah satu pengacara di firma hukum milik ibu Ridwan yang ditugaskan ibunya untuk membantu Ridwan.
“Baiklah,” ucap si Pengacara Muda itu memulai. “Semua sudah berkumpul sekarang. Jadi, perkenalkan nama saya Roby Andreas, saya pengacara yang akan mendampingi Bu Asma.”
Masih tidak ada yang bersuara.
”Mm..baiklah kalau begitu saya akan...”
“Tunggu,” Pak Irwan tiba-tiba memotong kata-kata Roby. “Saya mau berbicara berdua dulu dengan Asma, bisa?”
Roby memandang Asma dan Ridwan bergantian, sementara yang lain tetap membisu. Melihat keragu-raguan menyelimuti ruangan itu, Pak Irwan kemudian berkata lagi,
“Baiklah, Pak Roby boleh tetap menemani Asma disini. Tapi, yang lain saya minta keluar,” setelah berkata begitu, Pak Irwan menatap tajam ke arah Ridwan.
Ridwan tidak gentar, dia balas memandang Pak Irwan sebelum mengikuti yang lain berjalan keluar ruangan. Setelah mereka hanya bertiga di ruangan itu, Pak Irwan menghela napas, terlihat berat dan lelah.
“Asma,” panggilnya kepada Asma yang masih duduk bersandar di ranjang perawatannya. “Kamu... yakin akan menempuh jalan ini?” ada sedikit nada ancaman dalam suara itu yang membuat Roby mengernyitkan dahinya, waspada.
Namun, Asma yang sama sekali tidak menatap wajah mertuanya itu menganggukkan kepalanya. Pak Irwan lalu mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku celananya. Kertas itu terlihat sudah sangat lusuh. Asma yang melirik langsung menyadari itu apa: kertas perjanjian ayahnya dengan Pak Irwan sepuluh tahun lalu.
“Kamu bisa baca ini, kan?”
Asma meraih surat itu lalu membacanya pelan-pelan. Disana jelas tertulis apabila Asma dan Pandu berpisah, apapun alasannya, maka Abbas Hamzadi ayah Asma harus mengganti rugi sebesar biaya yang sudah Pak Irwan keluarkan untuk biaya kuliah dan nafkah rumahtangga yang dikeluarkan untuk Asma. Asma terbelalak, tangannya yang gemetar tak kuasa memegang surat perjanjian di atas materai itu.
“O...Om... tahu kondisi kami waktu itu... tapi... tapi masih membuat...perjanjian...seperti ini?” ucap Asma terbata-bata karena gemetar oleh kemarahan.
Pak Irwan tidak membalas.
“Se...seburuk...apa sebenarnya...Pandu sejak...dulu...Om?” Asma bertanya lagi sambil menatap mertuanya itu dengan mata merah menahan marah.
Roby yang berdiri diam di sudut ruangan mengawasi Asma dengan penuh perhatian, takut terjadi sesuatu pada Asma.
“Saya baru saja memutuskan untuk terjun ke politik waktu Pandu kena masalah di sekolahnya. Seorang teman sekelasnya dikeluarkan dari sekolah karena ketauan hamil. Semua teman sekelasnya tahu gadis itu menghabiskan malam di acara sweet seventen-nya dengan Pandu. Pandu tertuduh dan dia mengakuinya, lalu... saya membuat kesepakatan dengan orangtua gadis itu. Saya nggak bisa membiarkan reputasi saya rusak dan gagal maju dalam pemilihan, Asma.”
Asma semakin terbelalak. Gila!