Dan ada satu kota di dalam hatiku, dimana hanya engkaulah penduduk satu-satunya
-Darwish-
“Asma, Ridwan diajak makan dulu! Ibu mau ngantar ayah ke kantor pengiriman barang!”
“Biar saya saja Bu yang bawa!” Ridwan menyela.
“Aduh, jangan! Nak Ridwan sudah repot-repot dateng kemari untuk bantu-bantu saja Ibu sudah berterimakasih sekali! Sekarang waktunya istirahat ya? Biar ditemani Asma!”
Ridwan pun akhirnya urung membantu Bu Abbas membawa sisa barang ke bak mobil pick up yang disewa Pak Abbas untuk membawa barang-barang mereka ke kantor jasa pengiriman. Tak lama, Pak Abbas pun keluar dari dalam rumah, dia tersenyum sambil menepuk pundak Ridwan, lalu naik ke kursi kemudi mobil pick up sementara Bu Abbas menyusul di sampingnya!”
“Ridwan, ayo makan dulu! Ibu belikan nasi dan lauknya untuk kita!” seru Asma yang muncul dari arah dapur sambil membawa dua bungkus nasi, sendok plastik, dan dua botol air mineral. Ridwan yang melihat Asma kerepotan segera menangkap dua botol air yang hampir terjatuh dari pelukan Asma.
“Minta tolong bisa, kan?” ujar Ridwan sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan Asma yang ingin membawa semuanya sendirian.
Asma hanya tersenyum kecil, dia terlalu biasa melakukan semua dan menanggung semua sendirian, jadi masih aneh rasanya jika dia meminta tolong kepada orang walaupun sekedar hal kecil. Ketika, deru mesin mobil pick up terdengar, Asma sedang menggelar beberapa kardus bekas di atas lantai ruang tamu sebelum duduk, karena hampir semua perabotan dan kursi meja di rumah itu sudah diangkut ke atas pick up tadi. Ridwan pun turut membantu Asma menata makanan di lantai.
“Maaf ya jadi makan seperti ini,” ucap Asma sambil menyodorkan bungkusan nasi untuk Ridwan.
“Santai aja,” balas Ridwan sambil membuka bungkusan nasinya. “Saya malah lebih senang kayak gini.”
“Kaya’ angkringan, ya?” tanya Asma.
Ridwan hanya tersenyum geli. “Kamu udah pernah ke Jogja, kan?” tanyanya kemudian.
Asma mencoba mengingat-ingat. “Em... pernah. Tapi dulu sekali, waktu acara perpisahan SMP dan SMA.”
“Kapan-kapan kesana lagi ya. Saya kenalin ke keluarga saya.”
Mata Asma membesar.
“Nggak apa-apa, kan? Kamu hanya tahu cerita soal keluarga saya di dalam penglihatan itu, jadi harus tahu aslinya kaya’ apa,” ujar Ridwan melihat keraguan di mata Asma.
“Em... tapi kan... kaya’nya ayah kamu galak.”
Ridwan kembali tersenyum geli.
“Tergantung.”