Istana Terakhir

Lasabica
Chapter #41

Chapter #41

... Sehingga kita dapat bertemu dalam “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah

-Rumi-

Belum sebulan Asma dan keluarganya tinggal di rumah berhalaman luas di sebuah perbukitan yang masih termasuk wilayah Kota Batu, banyak hal baru yang Asma dan orangtuanya terima dari lingkungan baru ini, tetapi mereka semua nyatanya merasa sudah akrab dengan lingkungan sekitar. Ini terjadi tidak hanya karena bantuan Paklek Tejo yang masih termasuk saudara jauh Pak Abbas, tetapi juga karena pada dasarnya karakter warga sekitar sangat ramah dan terbuka menerima kedatangan keluarga Asma.

Paklek Tejo sudah merencanakan kegiatan sehari-hari untuk Pak Abbas disana, salah satunya yaitu mengecek perkebunan sayur dan buah yang masih terhitung warisan dari nenek dan kakek mereka. Sementara untuk Bu Tejo sendiri sudah cukup disibukkan dengan kegiatan mengurus rumah, mengurus halaman rumah luas yang ditanami sayuran untuk kebutuhan sehari-hari, serta binatang ternak yang mereka pelihara.

Asma juga masih tekun melanjutkan belajar melukis secara otodidak, juga membantu ibunya di rumah, tetapi pada suatu hari Asma didatangi oleh beberapa kelompok ibu muda dari desa yang meminta Asma untuk membantu pekerjaan mereka di taman kanak-kanak yang dikelola desa. Tawaran itu sesuatu yang baru untuk Asma, tetapi dia tidak bisa menolaknya karena terlalu bersemangat dan penasaran dengan kegiatan yang akan dijalaninya di semester baru nanti.

Kejutan lainnya untuk Asma adalah kedatangan laki-laki dengan wajah seperti tak pernah bercukur dengan rambut yang selalu dikuncir rapi di belakang kepalanya. Suatu pagi, Asma mendapati laki-laki itu sudah berdiri di luar pagar halaman rumahnya dengan senyum yang tergambar jelas di wajah, tas ransel, dan tangan yang menggenggam kamera.

“Ridwan!” Asma memekik dari teras rumahnya, dia meletakkan mangkuk berisi makanan ayam dan burung di sebuah meja lalu turun menyebrangi halaman.

Mungkin saja jika keduanya tidak saling menahan diri, sebuah pelukan membuncah di pagi hari yang masih dihiasi embun-embun di dedaunan.

“Kenapa tidak ngabari?” Asma bertanya dengan raut wajah bahagia yang tidak bisa ditutupi. Dia membuka pintu pagar besi setinggi pinggang itu lalu mengajak Ridwan masuk.

Ridwan menurut, dia melangkah disebelah Asma menuju teras rumah.

“Memang kepingin ngagetin aja,” Ridwan membalas lalu duduk di kursi teras bersama Asma. “Mana orangtuamu?”

“Ayah sudah sibuk di kebun sekarang, sama Paklek Tejo. Kebun warisan nenek kakek mereka ternyata luas juga, butuh waktu seharian untuk mengecek keliling.”

“Alhamdulillah. Ibu?”

“Mungkin masih buat sarapan di dapur. Saya panggilkan ya?”

Ridwan menganggukkan kepala, lalu membiarkan Asma pergi meninggalkannya. Tanpa sadar Asma hampir berlari menyusul ibunya di dapur untuk memberitahukan kedatangan Ridwan, membuat wanita yang baru saja pulih dari segala kesedihannya itu kembali diliputi kecemasan.

“Ada apa, Asma?” tanyanya dengan alis berkerut.

“Ada Ridwan Bu, di depan.”

“Ha?”

“Iya, Ridwan datang Bu.”

Lihat selengkapnya