Citra cinta menampakkan dirinya disana, dalam ketidakhadiran yang sangat nyata
-Darwish-
Kalau Asma mau jujur dia sebetulnya belum siap lahir batin untuk menghadapi ini semua. Namun, sudah di tentukan kapan dia akan ikut berangkat dengan Ridwan ke Yogya, dan dalam menghadapi Ridwan sepanjang perjalanan kereta api itu Asma selalu menyembunyikan berbagai pikiran buruk yang terus menerus menguasai otaknya dalam senyuman ceria dan obrolan ringan. Pikiran buruk itu meliputi juga berbagai pertanyaan seperti: bagaimanakah reaksi kedua orangtua Ridwan ketika melihatnya untuk pertama kali? Akankah ayah Ridwan, yang seorang Professor itu akan menghinanya dan memandang rendah dirinya karena sudah mengetahui semua peristiwa yang Asma alami? Yang lebih buruk mungkin mereka akan mengusir Asma dan tidak memperbolehkan Ridwan berhubungan lagi dengan Asma dan keluarganya.
Namun, semua sudah terjadi, dan Asma harus menghadapinya. Asma sekarang sudah menginjakkan kakinya di lantai ruang tamu rumah Ridwan yang dirasakannya sedingin es yang menusuk kulitnya, meskipun kedua kakinya dibalut oleh stoking tipis sewarna kulit. Semalam dia menginap di sebuah penginapan di dekat rumah Ridwan, dan pagi ini Ridwan datang menemaninya sarapan lalu langsung membawanya ke rumah. Ridwan bilang, kedua orangtuanya, terutama ayahnya sudah siap untuk bertemu. Namun, nyatanya sampai detik ini Asma yang merasa dia tidak siap sama sekali
Ketika duduk di ruang tamu itu, perhatian Asma langsung tertuju ke deretan foto di lemari kaca mewah yang terpasang di ruang tamu bernuansa tradisional. Untuk menyibukkan pikirannya yang kalut, Asma menatap satu per satu foto-foto itu, kebanyakkan foto-foto lama:
Foto ayah dan ibu Ridwan ketika masih muda dengan latar belakang almamater kampus yang sama (tidak ada keterangan apakah foto itu diambil sebelum atau sesudah mereka menikah), foto- foto ibu Ridwan dengan beberapa orang yang sepertinya tokoh penting dengan memakai baju persidangan, foto-foto ayah Ridwan berlatar tempat-tempat di luar negeri, lalu foto keluarga mereka dengan Ridwan kecil dan dua adik kembarnya yang masih balita, lalu foto-foto Ridwan dan adik-adiknya.
Kebanyakkan foto-foto adik kembar Ridwan berpose dengan piala atau piagam penghargaan, sementara Ridwan kebanyakkan berfoto di atas motor atau mobil sport, dan rambutnya ternyata memang sudah gondrong sejak remaja. Tanpa sadar bibir Asma tertarik ke samping, memahat sebuah senyuman samar ketika teringat Ridwan selalu menyebut dirinya berandal, pembangkang, tukang rusuh.
“Asma, ini orangtua saya.”
Asma menoleh kaget ketika suara Ridwan memanggilnya. Dia menahan napas, tubuhnya tegang ketika melihat Ridwan mendorong ayahnya yang terduduk di atas kursi roda, diikuti dengan ibunya disamping. Asma mengarahkan pandangannya ke lantai, nyalinya menciut sebesar beras berhadapan dengan kedua orangtua Ridwan yang membawa aura orang penting dan berkuasa.