Deras air hujan masih tampak jatuh membasahi permadani alam yang terhampar diatas permukaan bumi ini. Kampung ini, tampak begitu suram. Langit pun gelap bagaikan sedang menyimpan beban yang begitu menyesakkan. Jam masih menunjukkan pukul 05.00 sore namun suasana seperti malam telah larut. Sesekali tampak cahaya kilat di susul suara petir yang menyambar-nyambar bagaikan akan berakhir saja dunia ini. MasyaAllah. Udara terasa begitu sangat dingin. Apalagi daerah ini terletak di dekat sebuah lembah di pinggir hutan. Orang-orang tak banyak yang tahu kampung ini. Sebuah desa yang sangat indah karena di lalui oleh garis khatulistiwa. Bahkan warga desa ini masih sangat kental berbahasa melayu hingga jarang sekali terdengar masyarakat asli menggunakan bahasa Indonesia. Sekalipun ada itu tidak lancar. Maklum, banyak pemuda desa ini yang merantau keluar kampung tapi tidak pernah mau kembali ke kampung ini, mungkin sudah bangga dengan kehidupan di kota hingga mereka gengsi kembali ke kampung.
Tampak seorang gadis dengan busana daster berwarna biru yang lusuh duduk meringkuk di depan tungku kayu api di dapur rumahnya. Rumahnya yang hanya berdindingkan papan dan beratap daun rumbia ini terasa begitu membuatnya semakin kedinginan. Beberapa ember telah tersusun di beberapa titik atap yang bocor. Berulang kali ia sulut kayu ke perapian agar suasana terasa hangat dan nasinya segara matang.
Dari dalam kamar terdengar Suara batuk seorang wanita tua renta yang sudah berulang kali ia mendengarnya dari tadi. Gadis cantik berkulit putih dan berhidung mancung itu segera beranjak menuju kamar yang hanya satu-satunya dirumahnya itu. Tampak seorang wanita tua yang sedang terbaring sakit. Wajahnya pucat pasi dan sesekali dahak yang ia keluarkan bercampur darah. Ya, dialah ibu gadis cantik itu. Ibu yang sangat ia cintai hidup dan matinya. Gadis itu datang menghampiri maknya dengan memberikan segelas air putih sambil memegang tangan maknya yang terasa begitu dingin. Airmata gadis itu hampir saja meleleh tiap menatap wajah mak yang begitu penuh sakit menahan sakit paru-paru basah yang sudah lama beliau derita.
“Kelihatannya sakit mak bertambah parah mak. Namira khawatir mak.” Ujar gadis itu sambil memijat pelan tangan maknya.
“Sudahlah Namira! Kau tak perlu khawatir. Mak tak apa-apa.” Jawab Mak Pelan dengan nafas yang terlihat sedikit berat dan sesak.
“Mak selalu saja bilang tak apa-apa padahal Mira tahu sakit mak semakin parah.”
“Kau sedang apa di dapur?” Tanya mak mengalihan pertanyaan.
“Mira tadi sedang menanak nasi untuk makan malam kita. Mak mau makan sekarang? Namira ambilkan ya, lauk kita malam ini ikan goreng mak, sedap kan? kebetulan tadi Namira bantuin mak Ida bersihin kolam ikannya terus dikasihnya Namira 2 ekor ikan nila." ujar Namira sambil tersenyum bangga.
“Nanti saja lah Mira, ada yang mau mak cakap pada Namira." Pandangan mak mulai serius menatap Namira dengan gemetar ia sentuh wajah anak gadisnya itu.
“MasyaAllah, cantiknya anak gadis mak nih.” Ujar maknya.
Namira tersenyum.
“Wajah cantik kau nih suatu saat akan pudar. Seiring bertambah waktu semua akan hilang nak, makanya mak pesan pada kau Mira, wajah cantik tak kan selamanya nak tapi iman dan ilmu yang terus dijaga demi mencari ridho Allah insyaallah tak kan pernah pudar dimakan waktu nak. Jangan pernah tinggalkan sholat kau nak, kaji terus ilmu agama, doakan mak kau nih, kau lah satu-satunya anak mak.” Ujarnya sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam.
“Ya lah mak, Namira paham tuh. Tapi kenapa mak tiba-tiba cakap macam nih.” Dada gadis itu terasa dihimpit batu besar dan berat hingga untuk bernafas pun ia kesulitan.
“Tak boleh kah mak menasehati nak gadis mak?” Jawab mak samnil tersenyum lirih dan kemudian menarik nafas dalam.
“Namira, tidakkah kau terfikirkan lagi untuk memulainya nak?” suara mak terdengar bergetar.
Namira terenyak memperlihatkan wajahnya yang menahan kesedihan. Ia mengerti maksud pembicaraan maknya.
“Maksud mak, menikah?” tuturnya pelan dengan mata yang berkaca-kaca.
Mak menarik nafas dalam.
“Mak tahu, kau masih trauma dengan rencana pernikahan kau yang pernah gagal hingga dua kali nak. Tapi Mira, jangan jadikan itu sebagai alasan untuk membuat kau takut untuk menikah nak. Mungkin saja yang lalu-lalu itu memang bukan jodoh kau Namira.”
Namira tersenyum tipis sambil tetap memijat lembut tangan maknya. Ia sudah tau kemana arah pembicaraan maknya. Ini bukan sekali dua kali maknya berkata demikian.
“Namira juga manusia biasa mak. Juga punya naluri untuk memiliki rumah tangga. Punya suami yang baik dan sholeh serta anak-anak yang lucu." Jawab Namira dengan mata yang sendu menatap maknya.
"lantas kenapa Namira tidak mencoba untuk membuka hati lagi?"
"Namira masih perlu waktu mak. Rasa sakit dan takut itu masih membekas dihati Namira. Dulu hampir saja Namira memiliki itu semua tapi dengan sekejab mimpi itu harus punah saat bang Imron calon suami Namira harus duluan menghadap illahi karena kecelakaan. Mak sendiri tahukan sejak kematian bang Imron, maknya bang Imron selalu saja menyalahkan Namira atas kematian putranya. Dia bilang kalau saja waktu itu bang imron tidak memaksakan diri pergi ke kota untuk membeli mahar dan beberapa perlengkapan untuk pernikahan kami mungkin saja bang imron tak akan meninggal kecelakan. Hati Namira Sakit mak, belum lagi rasa penyesalan yang begitu besar." Kali ini airmata Namira benar-benar jatuh berderai membentuk aliran kecil dikedua pipinya nya yang berlesung pipi itu.
"Untuk kedua kalinya Namira mencoba membuka hati dengan menerima pinangan dari maknya bang Faisal, saat itu Namira hampir menggapai mimpi Namira jika saja bang Faisal calon suami Namira tidak lari dengan gadis yang ia cintai di hari pernikahan kami. Kalau saja Namira tahu kalau ia tak mencintai Namira dan hanya dipaksa oleh maknya yang sangat menyukai Namira. Seluruh orang kampung mempergunjingkan Namira, bahkan ada yang bilang Namira gadis pembawa petaka karena dua kali gagal menikah. Bahkan ada juga beberapa pemuda kampung ini yang takut dengan Namira. Mereka takut ketimpa sial gara-gara Namira. Masyaallah ma, itu sangat menyakitkan buat Namira,” Airmatanya jatuh menetes namun segera ia usap.
Mak menatap Namira dengan menahan airmatanya di depan putrinya.